Peran Media Massa
Dalam Memberantas Aksi Terorisme di Indonesia
Oleh :
Mayor Inf Suwandi (Pasilakpin
Subdit Opini Bidpenum Puspen TNI)
Terorisme merupakan
musuh dunia yang tidak mengenal batas wilayah dan undang-undang suatu
negara. Aksinya dapat terjadi di negara mana saja yang mereka targetkan,
tidak terkecuali di negara Indonesia tercinta. Indonesia berkali-kali
dijadikan sasaran empuk oleh kelompok teroris, tercatat dari rentang waktu
tahun 2000 hingga 2018 sudah banyak bom meledak di Indonesia, antara lain bom
Bursa Efek Jakarta tahun 2000, Plaza Atrium 2001, Hotel JW. Mariot 2003, di
depan Kedutaan Australia 2004 dan bom Bali tahun 2005. Kejadian terakhir
yang baru-baru ini terjadi yaitu serangan teror bom bunuh diri yang terjadi di
tiga gereja di Kota Surabaya, Markas Polrestabes Surabaya, penyerangan di Polda
Riau dan ledakan bom rakitan di Rusun Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur.
Menurut Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius dalam Rapat Dengar
Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR pada tanggal 30 Mei 2018, aksi teror yang
terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir dilakukan oleh jaringan
terorisme yang berbeda-beda. Menurutnya, ada 5 (lima) jaringan teror yang saat
ini masih aktif yaitu Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT),
Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Syariah (JAS), Mujahidin
Indonesia Timur (MIT) dan sel-sel di bawahnya. Semuanya secara jelas
mengajarkan paham radikalisme.
Dari apa yang
disampaikan Kepala BNPT tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa faham
radikalisme dan terorisme berkembang subur di Indonesia. Kegiatan mereka
terencana dan terstruktur, mereka terus bergerak membuat jaring dan sel-sel
baru dengan merekrut anak-anak muda sebagai anggota. Mereka mendoktrin siap mati
membela agama dengan dasar dalil-dalil yang disalah artikan, membenarkan
kekerasan, menyerang membabi buta bahkan tidak ragu-ragu mengorbankan sanak
keluarga dalam mencapai tujuan perjuangannya.
Dalam mengembangkan
kegiatannya mereka memanfaatkan media sosial menyebarkan faham-faham
radikalisme untuk mempengaruhi orang lain agar masuk ke kelompoknya.
Terbukti, pengaruhnya sudah masuk ke kampus-kampus perguruan tinggi. Menurut
data BNPT ada 7 (tujuh) Perguruan Tinggi yang sudah terpapar radikalisme dan baru-baru
ini ada 3 (tiga) orang alumni Universitas Riau (UNRI) ditangkap Densus 88
karena menyimpan perangkat untuk aksi teror di Ruang Gelanggang Mahasiswa yang
berada di lingkungan kampus.
Tidak hanya di media
sosial saja, para teroris juga memanfaatkan media televisi, cetak dan online
untuk mengekspos aksi teror yang dilakukan dengan harapan eksistensi
kelompoknya diketahui masyarakat luas atau dengan kata lain media dimanfaatkan
untuk menyebarkan alasan ideologi dan tujuan dibalik aksi teror yang mereka
lakukan.
Hubungan Media Massa Dengan Terorisme
Terorisme dan media
dapat dikatakan memiliki hubungan simbiosis mutualisme yang bersifat
tidak langsung. Media membutuhkan bahan berita yang menarik untuk
disajikan ke khalayak umum, di sisi lain para pelaku teror membutuhkan
publisitas untuk menunjukkan eksistensinya. Teroris memanfaatkan media
secara aktif maupun pasif. Pemanfaatan media secara aktif melalui publikasi
mereka ingin menyampaikan pesan-pesan ketakutan kepada khalayak luas;
mempolarisasi pendapat umum; mencoba menarik anggota baru pada gerakan teroris;
mengecoh aparat keamanan dengan menyebar informasi palsu; membangkitkan
keprihatinan publik terhadap korban untuk menekan agar pemerintah melakukan
kompromi atau konsesi sesuai yang mereka inginkan; mengalihkan perhatian publik
dari isu-isu yang tidak dikehendaki dengan harapan berita teror mereka mengisi
halaman depan media; dan membangkitkan kekecewaan publik terhadap pemerintah.
Sedangkan pemanfaatan
media secara pasif diantaranya sebagai jaringan komunikasi eksternal di antara
kelompok teroris, mempelajari teknik-teknik penanganan terbaru terhadap
terorisme dari laporan media, mendapat informasi tentang kegiatan terkini
aparat keamanan menghadapi teror yang sedang mereka lakukan, menikmati laporan
media yang berlebihan terkait ekses dari aksi teror hingga menciptakan
ketakutan masyarakat dan mencegah keberanian aparat kemanan secara individu,
mengidentifikasi target-target selanjutnya dan mencari tahu reaksi publik terhadap
tindakan mereka.
Ada dua tujuan
penting mengapa teroris memanfaatkan media massa, pertama, aksi teroris tidak
hanya ingin diketahui oleh publik tetapi juga sarana penyampaian pesan dan
motif dibalik tindakan mereka. Tindakan bom bunuh diri yang dilakukan akan
menimbulkan pertanyaan di benak khalayak tentang motif tindakan mereka. Media
melalui frame pemberitaan yang dikembangkan akan memberikan penjelasan
mengenai motif yang dimiliki oleh para teroris tersebut.
Tujuan kedua adalah
mendapatkan hormat dan simpati publik yang mempunyai pemahaman yang sama secara
potensial akan mendukung aksi teror yang mereka laksanakan. Kelompok yang
memiliki akar ideologi, faham serupa atau memiliki tujuan yang sama dengan para
pelaku teror berpotensi untuk memberikan rasa hormat dan simpati yang akhirnya
dengan kesadaran pribadi bergabung dalam kelompok tersebut.
Melalui media, pesan
teroris dapat disebarluaskan lebih cepat dan lebih meyakinkan. Penyebaran
berita yang memuat pesan para teroris tersebut menunjukkan peran penting media
dalam “mendukung” aksi teror. Selain itu, dengan ekspos media yang
berlebihan dapat membantu kelompok teroris untuk mengembangkan kelompoknya
semakin besar dan berani untuk melakukan aksinya.
Hal inilah salah satu
yang diprediksi menjadikan kelompok-kelompok teroris berkembang subur di
Indonesia seperti yang disampaikan peneliti terorisme dari Yayasan Prasasti
Perdamaian, Taufik Andrie. "Belum ada situasi yang menunjukkan
kelompok-kelompok teroris mengalami kelemahan dan vakum tetapi mereka hanya
sebatas mengalami hibernasi, dan itu pun hanya terjadi pada kelompok-kelompok
besar seperti Jamaah Islamiyah, tapi kalau kelompok-kelompok sempalan lain,
mereka terus tumbuh sepanjang waktu". Untuk mencegah berkembangnya faham radikal
dan terorisme perlu upaya pencegahan yang maksimal dari pemerintah dan seluruh
komponen masyarakat termasuk yang terpenting adalah peran media massa.
Bagaimana seharusnya
posisi media dalam pemberitaan terorisme sehingga bisa memberikan kontribusi
positif bagi ketahanan nasional ? Berdasarkan Undang-Undang RI no. 40
tahun 1999 tentang Pers pada pasal 9 ayat 1 khususnya alenia 2
menjelaskan bahwa Pers Nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan
strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu
terkait terorisme, media massa memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk
turut serta membatasi persebaran faham terorisme dengan pemberitaan yang lebih
bersandar pada kesadaran moral, sebaiknya reportase yang terkait teroris dipilah
sebelum disiarkan dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Dalam kasus
terorisme, pemberitaan media semestinya tidak hanya mengedepankan aspek bisnis
semata atau menaikan rating namun media harus bisa memberikan kritik dan
masukan bagi pemerintah dan masyarakat bagaimana menyikapi kasus terorisme.
Peran media dalam pemberitaan terorisme diharapkan tidak menimbulkan ekses
negatif bagi pemirsa/pembaca, dan diharapkan dapat mencegah lahirnya teroris
baru karena terinspirasi oleh pemberitaan.
Kompetisi dan
kecepatan menuntut media bekerja dengan lebih baik agar bisa bersaing. Dalam
kompetisi, materi berita yang menarik akan menentukan kemampuan untuk menarik
publik. Kecepatan menuntut media untuk mendapat berita dari sumber pertama
dalam tempo yang singkat. Aksi terorisme menjadi materi menarik bagi
pemberitaan sekaligus membutuhkan kecepatan untuk menyiarkannya. Oleh
karena itu, media berlomba untuk mendapatkan kesempatan pertama dalam
pemberitaan terorisme sehingga terkadang lengah dan konten-konten yang tidak
boleh disiarkan malah ditampilkan tanpa sensor. Untuk itu, dalam
mempublikasikan aksi terorisme media harus tetap berpedoman pada Undang-Undang
RI no. 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik sebagai landasan moral dalam
publikasi.
Apabila terjadi aksi
teror disuatu tempat pejabat Humas atau Kepala Penerangan di lingkungan yang
terkait hendaknya segera mengumpulkan data-data yang valid, selanjutnya
memberikan keterangan pers kepada awak media secepatnya. Hal ini penting agar
informasi kejadian tersebut tidak dipublikasikan menurut opini pribadi awak
media yang akhirnya informasi bergulir liar dan kemungkinan dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membentuk
opini publik sesuai kepentingan kelompoknya.
Terkait video rekaman
CCTV kejadian bom bunuh diri di Mapolresta Surabaya yang viral menggambarkan
kejadian sadisme yang dapat mempengaruhi psikologi negatif khalayak luas
terutama anak-anak. Untuk itu hendaknya aparat tidak asal menyebarkan video
aksi teroris melalui media sosial, sebelum adanya persetujuan dari pejabat yang
berwenang atau pimpinan dari instansi yang bersangkutan, sehingga efek-efek
negatif dari menyebarnya video tersebut dapat dihindarkan.
Wartawan dalam
menjalankan tugas jurnalistiknya harus berpedoman pada Undang-Undang Pers Nomor
40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik, dengan tujuan agar wartawan mempunyai
rasa tanggung jawab dalam menjalankan profesinya, karena produk jurnalistik
yang dipublikasikan di media massa memiliki efek yang luar biasa bagi
masyarakat secara luas.
Selain itu fungsi
Dewan Pers mempunyai peranan penting dalam mengontrol dan mengawasi
pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik oleh insan pers. Menurut Pasal 15 ayat
(2) Undang-Undang Pers, Dewan Pers berfungsi antara lain; melindungi
kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, melakukan pengkajian untuk
pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik
Jurnalistik. Fungsi tersebut harus benar-benar dilaksanakan dengan baik,
apabila ada yang melanggar harus diingatkan dan diberikan sanksi sesuai
peraturan dan Undang-Undang yang berlaku, agar pers di negara kita dapat
melaksanakan tugasnya dengan seimbang dan bertanggung jawab.
Dari uraian diatas
betapa pentingnya peran media massa dalam membantu membatasi berkembangnya teroris di
Indonesia. Untuk itu media dalam memberitakan aksi terorisme harus wajar dan
tidak berlebihan, berita yang disajikan harus tetap dalam kerangka menjaga
ketahanan dan keamanan nasional serta kepentingan masyarakat, bangsa dan
negara.(***)