Selamat Datang Di Website Lawupost.com (Menyatukan Inspirasi Dan Motivasi) Pentingkah Mata Pelajaran Sulit di Sekolah Dasar ? | Lawu Post

Pentingkah Mata Pelajaran Sulit di Sekolah Dasar ?

Rabu, 03 Agustus 20160 comments

 
Oleh : Nadita Dewi Profita
 
Sejak tiga  tahun yang lalu  kurikulum yang diberlakukan di Indonesia adalah Kurikulum 2013 atau lebih populer dengan sebutan Kurtilas, kurikulum ini  memang agak lama dan ketat waktu belajarnya tentu dengan segala aspeknya. Memang belum semua Sekolah melaksanakan kurikulum yang baru ini. Dalam kurikulum ini siswa dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran. Mata pelajaran yang harus diikuti pun lebih banyak dibanding sebelumnya,  sehingga membuat sebagian siswa kewalahan untuk mengikutinya.

Dilihat dari segi mata pelajaran, kurikulum 2013 untuk Sekolah Dasar (SD) cukup mengejutkan. Faktanya, siswa yang masih duduk di jenjang sekolah dasar tersebut harus mengikuti banyak mata pelajaran, salah satunya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Sebagian orang beranggapan bahwa kurikulum ini baik untuk perkembangan siswa/i di Indonesia. Namun apa jadinya jika murid SD tidak mengutamakan pendidikan moral dan sopan santun bagi siswanya?

Demikian pentingkah ilmu-ilmu tersebut sudah harus diberikan di jenjang sekolah yang paling dasar tersebut ? Dengan umur yang masih terbilang kanak-kanak, jiwa yang seharusnya bermain disita oleh waktu belajar yang kurang tepat bagi pikiran mereka.

Bayangkan siswa kelas 2 SD belajar mengenai akar pangkat dalam matematika. Atau belajar sistem peredaran darah di Ilmu Pengetahuan Alam. Fakta lain mengatakan siswa yang akan masuk SD dituntut untuk bisa membaca dan menulis terlebih dahulu. Bisa saja anak yang akan masuk ke SD tersebut telah belajar di Taman Kanak kanak (TK). Namun fungsi dari TK itu sendiri adalah belajar bersosialisasi dengan banyak orang dari berbagai tempat, bukan untuk belajar menulis dan membaca. Dilihat dari penerapannya, kurikulum yang dianggap bagus itu justru membuat daya tangkap anak menjadi tidak pada tempatnya.

Lalu keterampilan apa yang akan mereka kuasai dan yang akan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, mereka terlalu dipaksa untuk berpikir abstrak dengan ilmu ilmu yang harus dipelajarinya,   dimana waktu bermain untuk mereka ?

Sebagai perbandingan, kurikulum SD di Jepang dibuat sederhana, dengan  memperkuat nilai-nilai  moral, cara menghargai diri sendiri dan orang lain, serta mengajarkan Keterampilan, Budaya dan Bahasa Nasional. Mereka juga belajar keterampilan menjahit, memasak, seni menggambar dan sebagainya. Ini jelas bertolak belakang dengan kulikulum Sekolah Dasar di Indonesia. Bahasa Asing di Indonesia telah dikenalkan di bangku kelas 3 SD. Tentu ini menjadi problematika dalam asupan ilmu. Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah terbengkalai begitu saja, bisa saja puluhan tahun kemudian Bahasa Daerah anak musnah karena tidak dipakai. Dan keterampilan mereka pun kurang, dalam kreatifitasnya, usaha untuk menggunakan kembali barang bekas. Yang kita tahu bahwa barang yang sudah tidak terpakai tentu akan dibuang, dan apakah membuangnya di tempat yang benar?

Siswa yang seharusnya belajar mengenai tata krama, etika, sopan santun dan lingkungan cenderung mempelajari Ilmu yang belum menjadi porsi usianya. Alhasil, cara mereka berbicara kepada guru pembimbing, teman seusianya atau kepada orang tua tidak pada tempatnya juga. Cara memperlakukan lingkungan pun kurang baik, mereka membuang sampah di bawah meja, di kamar mandi, atau merusak tanaman. Ini terjadi karena ilmu berbudaya lingkungan tidak dibahas.

Logikanya, siswa yang sedang duduk di bangku SD sedang mencari jati diri untuk pembentukan karakter, jika sekolah tidak membantu membangun karakter itu maka mempengaruhi karakter siswa tersebut di masa depan.

SD saat ini cenderung memperhatikan ilmu pengetahuan yang rumit dengan harapan siswa/i bisa mengikuti mata pelajaran di jenjang berikutnya di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, ada yang mereka lupakan, nilai moral dan budaya. Jika sudah lulus dari tingkat Sekolah Dasar apakah masih mudah membentuk karakter? Kemungkinannya kecil.

Sebagian besar sekolah memberi peraturan dan tata tertib yang cukup banyak, namun jika tanpa didasari oleh kesadaran apakah bisa dipatuhi? Kembalikan ke Sekolah Dasar. Sekolah Dasar tentu harus mendasar, bukan Menengah. Apalagi saat ini yang sedang digembor-gemborkan adalah program ‘Adiwiyata’, yaitu program yang mendorong warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan. Masih jarang sekolah di Indonesia yang mengikuti program ini, apalagi untuk Sekolah Dasar. Hanya sebagian daerah yang mengajarkan pendidikan lingkungan hidup, namun para siswa masih belum mengerti makna dari mata pelajaran tersebut sehingga lingkungan semakin terbengkalai.

SD merupakan sekolah bermain sambil belajar,  namun tetap pada garis batasnya. Bayangkan jika terlalu banyak bermain ketika telah tumbuh dewasa karakternya seperti apa?

Kita tahu bahwa saat ini tingkat kesulitan mata pelajaran semakin membebani pelajar dengan tugas yang menggunung sehingga waktu istirahat dan berkumpul bersama keluarga semakin sempit, selain itu banyak keluhan karena pengeluaran biaya dari tiap tugas. Bayangkan anak SD diberi tugas untuk membuat Power Point dengan materi yang terbilang berat sehingga orang tua pun angkat bicara kepada pihak sekolah. Lalu, jika setelah begini siapa yang harus dinyatakan bersalah? Pada keyataannya kurikulum yang kurang baik membuat berbagai pihak merasa dirugikan.**

Profitadn_ndp@hotmail.com
Nadita Dewi Profita
Siswa SMAN 13 Bandung.
Share this article :

Posting Komentar

NUSANTARA BERSATU

EDISI TABLOID CERDAS

EDISI TABLOID CERDAS
 
Support : Creating Website | Lawupost | Lawupost Template
Copyright © 2011. Lawu Post - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Lawupost Template
Proudly powered by Lawupost