Banjar (LawuPost) Kota Banjar adalah salah satu daerah penghasil batu bata merah yang cukup potensial di wilayah Priangan Timur. Di kalangan pelaku usaha bisnis properti, bata merah produksi Banjar sudah cukup terkenal. Produksi bata merah di Kota Banjar tentu saja tidak terlepas dari letak geografis kota ini yang dibelah oleh sungai Citanduy Wilayah Kecamatan Purwaharja dan Pataruman selama ini memang dikenal sebagai sentra produksi batu bata merah di Kota Banjar. Ada ratusan tobong (saung) bata yang berderet di sepanjang pinggiran sungai Citanduy.Selain menjadi salah satu sektor usaha informasi yang menonjol dan tahan banting terhadap situasi ekonomi, aktivitas itu menyediakan kesempatan bagi para ibu-ibu atau remaja yang ingin menambah penghasilan. Asal kuat fisik untuk mengangkut bata, maka siapa saja bisa ikut bekerja.Upahnya memang jauh dari kata layak.
Untuk mengangkut 12.000 bata merah, mereka hanya dibayar Rp 12.000 saja. Itu artinya, upah para kuli angkut bata ini hanya Rp 2 untuk satu buah bata. "Kami biasanya bekerja dengan kelompok kami masing-masing. Seperti sekarang kami disuruh membongkar 15.000 bata yang baru selesai dibakar. Tugas kami adalah membongkarnya, makanya saya ajak 7 orang teman. Nanti hasilnya kita bagi-bagi," kata Ny. Idah, yang didaulat menjadi leader bagi teman-temannya saat ditemui di tobong bata Dusun Cikadu Kelurahan Karangpanimbal Kota Banjar, Senin (15/2).Ny. Ika buruh lainnya menambahkan, dirinya melakoni profesi itu untuk menambah penghasilan. "Suami saya bekerja mencetak bata, nah daripada saya diam di rumah atau ngerumpi, dengan tetangga. lebih baik ikut bekerja," katanya.Setiap hari mereka rata-rata bisa membawa pulang Rp 20 sampai 30 ribu. "Ya lumayan walaupun menguras tenaga," katanya.
Walaupun perempuan dan usianya rata-rata diatas 40 tahun, wanita-wanita ini tergolong kuat. Sekali jalan mereka bisa mengangkut 10 bata ditangannya. Mereka sering diajak armada truk yang hendak melakukan pengiriman. Maka tak heran jika di Banjar kerap kita jumpai para ibu-ibu menumpang di bak truk dan duduk diatas tumpukan bata.Namun terlepas dari hal itu, tak ada yang peduli dengan jaminan keselamatan dan kesehatan selama mereka melaksanakan pekerjaannya. Padahal resiko kerja mereka cukup tinggi, karena harus menumpang mobil angkutan bak terbuka untuk membongkar atau memuat bata. Selain itu, debu bata merah dan abu sisa pembakaran bata, tentu saja mengancam kesehatan organ pernafasan mereka. Kalangan buruh wanita di sektor informal ini juga belum tersentuh oleh program pemerintah seperti yang diberikan Pemkot Banjar kepada tukang ojek dan tukang becak, yaitu asuransi jiwa.
Padahal mereka sama-sama kalangan pekerja dengan resiko tinggi.Saat ditanya apa harapan mereka terhadap pemerintah, ibu-ibu itu tidak memberikan jawaban yang jelas. "Terserah pemerintah saja, yang penting kami masih bisa terus bekerja," kata Ny. Idah. Dia hanya mengutarakan sempat merasa iri mengapa pemerintah hanya memberikan bantuan terhadap pengusaha bata merah saja dengan bantuan permodalan serta mesin cetak bata, sementara buruh bongkar muat bata tak pernah disentuh bantuan. (Mamay)