Selamat Datang Di Website Lawupost.com (Menyatukan Inspirasi Dan Motivasi) Pasca Penghapusan PPN 10 Persen Harga Daging Sapi Kembali Normal | Lawu Post

Pasca Penghapusan PPN 10 Persen Harga Daging Sapi Kembali Normal

Minggu, 07 Februari 20160 comments

Ciamis (LawuPost) Para penjual daging sapi di pasar-pasar tradisional, termsuk di Kabupaten Ciamis kini bisa bernafas lega. Pasalnya pemerintah sejak Minggu (24/1) telah merevisi atau membatalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 267/PMK.010/2015 tentang pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% pada sapi yang diimpor. Langkah pemerintah merevisi PPN 10% itu muncul seletah kalangan pengusaha dan pedagang sapi ramai-ramai melakukan aksi mogok berjualan dan mendesak revisi terhadap PMK Nomor 267/2015 tentang pengenaan 10% untuk semua jenis ternak impor, kecuali untuk impor sapi indukan. Dengan revisi tersebut, kini untuk pemotongan sapi oleh para pedagang tidak lagi dkenakan pajak 10 persen, sehingga harga daging sapi di pasaran kini kembali normal karena pedagang tidak di bebani pajak 10 persen.

Berdasarkan pantauan tim Lawu News di Pasar Manis Ciamis, Senin (25/1), daging sapi dijual dikisaran harga Rp 110 ribu – Rp Rp 115 ribu/kg. Padahal saat pajak 10 persen tersebut diterapkan, para pedagang sempat menaikan harga daging sapi hingga angka Rp 130 ribu/kg. H Ajo, salah seorang penjual daging sapi di Pasar Manis Ciamis mengaku lega atas pembatalan penerapan pajak 10 persen untuk setiap pemotongan sapi. Hal itu, kata dia, berpengaruh terhadap turunnya kembali harga daging sapi ke harga semula. Dengan begitu, lanjut H Ajo, diharapkan kondisi penjualan daging sapi yang sebelumnya sempat kalang kabut menjadi normal kembali. “Ya Alhamdulillah, pemerintah mau mendengar suara kami. Kami berharap penyerapan daging sapi oleh masyarakat juga bisa kembali normal, ”katanya.

Sementara itu, guna memastikan stabilitas harga daging sapi dipasaran, Pemerintah Kabupaten Ciamis melalui Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ciamis beserta Diskoperindag Kabupaten Ciamis melakukan sidak dengan mendatangi para penjual daging sapi di Pasar Manis Ciamis beberapa waktu lalu. Pada sidak tersebut, Kepala Dinas Peternakan, Sutriaman, A.PI menanyai satu persatu para penjual daging sapi, baik mengenai harga jual, stok barang (daging), suplai daging, termasuk sepi dan tidaknya kondisi penjualan daging sapi saat ini.

Kepada Tim Lawu News, Sutriaman mengatakan kebijakan pemerintah menerapkan pajak 10 persen untuk setiap pemotongan sapi ini sangat tidak populer dan sangat memberatkan masyarakat termasuk para pedagang daging. “Sebelumnya di akhir tahun kemarin sudah terlihat adanya gonjang ganjing harga daging sapi akibat pasokannya yang kurang. Tiba-tiba dalam kondisi seperti itu pemerintah menerapkan pajak yang besarannya mencapai 10 persen, jelas-jelas itu sangat memberatkan, ”ujarnya. Lebih jauh Sutriaman menegaskan, terjadinya kelangkaan daging sapi akibat naiknya pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen di berbagai daerah ternyata tidak terlalu berpengaruh di Kabupaten Ciamis. pasalnya mayoritas pasar hewan dan daging di Kabupaten Ciamis menggunakan sapi lokal. “Yang langka itu sapi jenis BX (Brahman Cross) yang diimpor dari luar negeri. Sedangkan di Ciamis ini sebagian besar menggunakan sapi lokal. Hanya pasar hewan Kabupaten Ciamis saja yang mendatangkan sapi BX dari pemotongan di Kota Tasikmalaya, “tegas Sutriaman.

Stok sapi lokal yang siap potong saat ini, kata Sutriaman, mencapai 6.000 ekor dan itu setiap hari 2 ekor sapi masuk ke Kabupaten Ciamis dari Tulung Agung. Menurutnya, stok daging sapi Kabupaten Ciamis masih aman, apalagi konsumsi daging sapi warga Kabupeten Ciamis pun masih dibawah rata-rata nasional, hanya 7 kg pertahun per orang. Dia mengatakan, pengaruh kelangkaan sapi impor akan berdampak pada harga daging sapi, baik di pasaran maupun di kalangan peternak. Harga sapi berat hidup di tingkat peternak saat ini Rp 45 ribu perkilogram dan di pasar harga sapi Rp 120 ribu perkilogramnya. “Jika ada kelangkaan biasanya pengaruhnya kepada harga sesuai mekanisme pasar, ketika barang langka, harga sapi lokal pun ikut naik. Apalagi faktanya saat ini banyak pedagang yang ketergantungan pada daging sapi impor dengan distributor, baik melalui kontrak maupuan perjanjian selaku rekan bisnis. Harga sapi BX pun lebih murah ketimbang sapi lokal, “kata Sutriaman. Oleh karena itu, pembibitan sapi lokal memang harus terus ditingkatkan baik jumlah sapinya, lahannya maupun peternaknya. Sehingga saat terjadi kelangkaan sapi impor tidak berpengaruh pada harga maupun stok daging sapi lokal untuk kebutuhan masyarakat.

 Berdasarkan hasil pantauan tim Lawu News dilapangan, tingginya harga daging sapi yang sempat menembus angka Rp 130 ribu-Rp 140 ribu/kg dalam dua pekan terakhir ini ternyata tdak membuat peternak senang. Pasalnya para peternak tidak memiliki sapi siap potong untuk dijual. Mayoritas kandang peternak kosong setelah habis dijual pada saat lebaran Idul Adha dan menjelang tahun baru. “Harga tinggi, tapi tidak ada sapi yang bisa dijual sama aja bohong. Tidak ada pengaruhnya bagi para peternak lokal, ”ujar Agus Zakaria peternak sapi asal Caringin Kecamatan Sukamantri, Senin (25/1). Bahkan, kata Agus, sapi bakalan juga sangat terbatas, karena peternak masing enggan membeli sapi bakalan disaat harga tinggi. “Para peternak harus berfikir panjang jika memmbeli bakalan saat ini. Khawatir, saat dijual harga malah turun. Kebanyakan menunggu hingga harga daging sapi turun,” ujarnya.

 Menurut Agus, ketidaksiapan peternak lokal bersaing dengan importir sapi karena beternak sapi membutuhkan modal yang besar dan lama mendapatkan keuntungan. “Untuk membeli seekor sapi bakalan bisa mencapai Rp 10-12 juta sangat berat bagi peternak lokal yang ada di pelosok desa. Mendapat keuntungan cukup lama 6 bulan hingga satu tahun, “ujarnya. Oleh karena itu, kata Agus, agar para peternak di pelosok desa tetap bisa memelihara sapi, harus diperbanyak bapak angkat yang memiliki finansial. “Para peternak yang tidak mampu membeli sapi bakalan diberi modal sapi bakalan oleh bapak angkat untuk dipelihara, lebih banyak pemodal lebih banyak sapi yang dipelihara, ”ujar Agus yang sudah lama bermitra dengan peternak lokal. Selain itu, diperlukan perubahan orientasi ternak dari penggemukan menjadi pembibitan. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan harga bakalan dan meningkatkan kemandirian peternak. “Perlu pembinaan intensif untuk mengubah orientasi peternak dari penggemukan ke pembibitan, karena membutuhkan sumber daya manusia yng berkualitas, ujarnya.

Namun, kendalanya saat ini mental masyarakat di desa yang siap beternak juga terus berkurang. Masyarakat khususnya kaum muda masih memandang sebelah mata profesi peternak sapi. Perlu revolusi mental untuk mengubah mindset (pandangan) sebagian masyarakat. “Kebanyakan kaum muda lebih suka kongkow-kongkow, atau mencari kerja ke kota, ketimbang jadi peternak. Perlu perubahan pandangan di kalangan masyarakat bahwa profesi peternak itu bergengsi mulia dengan penghasilan yang menjanjikan, ”ujarnya. (Mamay/Dian)
Share this article :

Posting Komentar

NUSANTARA BERSATU

EDISI TABLOID CERDAS

EDISI TABLOID CERDAS
 
Support : Creating Website | Lawupost | Lawupost Template
Copyright © 2011. Lawu Post - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Lawupost Template
Proudly powered by Lawupost