Peran Dan Fungsi Kepala Sekolah
Dalam
Pendidikan Karakter
Oleh: Hari
Suderadjat
1.
Latar
Belakang Masalah
Menteri Pendidikan, bapak Anies Baswedan
pernah mengemukakan bahwa maraknya korupsi di Indonesia saat ini merupakan
salah satu hasil pendidikan sebelum era reformasi. Maraknya geng motor,
narkoba, miras dan free sex diantara
remaja saat inipun merupakan hasil pendidikan yang belum mengintegrasikan
nilai-nilai karakter. Maraknya makanan
berformalin dan pewarna yang mengandung racun, yang dapat merusak kesehatan
masyarakat khususnya generasi muda, merupakan salah satu indikator hasil
pendidikan yang belum berorientasi pada pembangunan karakter.
Saat Indonesia memerlukan pendidikan
karakter, karena, seperti yang dikemukakan oleh Proklamator Kemerdekaan bahwa: tidak akan ada pembangunan nasional tanpa pembangunan
karakter. Demikian juga Presiden Jokowi mengemukakan Nawacita ke delapan
yaitu revolusi mental. Indonesia
akan kesulitan menanggulangi pelemahan ekonomi tanpa revolusi mental, dan untuk
program pembangunan jangka menengah dan jangka panjang diperlukan pendidikan
karakter sebagai fondasinya.
Kelemahan dalam pendidikan pada era orde baru
ini dirasakan oleh para pembaharu pendidikan yang menghasilkan Undang-Undang No
20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), sebagai
pengganti UU Sisdiknas Tahun 1989. Ada dua agenda penting dalam reformasi dunia
pendidikan, pertama adalah perubahan
orientasi dan tujuan pendidikan dan yang kedua adalah perubahan manajemen pendidikan.
2.
Perubahan
Tujuan Pendidikan
Agenda
reformasi pendidikan yang pertama adalah, mengubah tujuan pendidikan dasar dan
menengah, dari yang semula untuk menyiapkan lulusannya sebagai calon-calon
ilmuwan menjadi lulusan yang memiliki
kompetensi. Dengan kata lain mengubah tujuan pendidikan agar lulusan tidak
hanya berorientasi pada pemilikan pengetahuan semata (ilmu/ knowledge), melainkan agar lulusan memiliki
kemampuan/kompetensi yang mengintegrasikan pengetahuan (kognitif, knowledge), aplikasinya dalam kehidupan
(motorik, skill), dan nilai-nilai
akhlak mulia/karakter (afektif, attitude).
Hal ini dilakukan dengan mengubah Kurikulum Tahun
1994 yang dikembangkan berdasarkan mata pelajaran atau materi pelajaran (subject-matter curriculum development),
menjadi kurikulum berbasis kompetensi (competence-based
curriculum development) yang rintisannya dimulai pada tahun 2004
(KBK-2004), kemudian disempurnakan
menjadi Kurikulum 2006, yang dikenanal sebagai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) dan selanjutnya Kurikulum 2013.
Peralihan dari kurikulum mata pelajaran
(1994) menjadi kurikulum berbasis kompetensi (Kurikulum 2004, 2006 dan 2013), seharusnya
membawa perubahan sbb:
·
Mengubah tujuan pendidikan agar lulusan tidak sekedar memiliki
ilmu, melainkan agar lulusan memiliki ilmu (kognitif, kompetensi-inti-3), dapat
menggunakannya dalam kehidupan (motorik, kompetensi inti-4), yang bermanfaat
bagi dirinya dan masyarakat (afektif, kompetensi inti-2) sebagai pengabdiannya
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (afektif, kompetensi inti-1). Dengan kata lain
mengubah tujuan pendidikan dari sekedar memiliki ilmu, yang cenderung
mengabaikan karakter, menjadi tujuan pendidikan yang berkarakter.
·
Mengubah mata pelajaran yang sarat dengan materi atau bahan
pelajaran, menjadi mata pelajaran yang memiliki konsep-konsep esensial.
·
Mengubah proses pembelajaran yang padat dengan ceramah, menjadi
proses pembelajaran dengan prinsip self
learning, self exploration dan self
evaluation, dengan metoda ilmiah.
·
Mengubah evaluasi dari PAN (penilaian acuan norma) menjadi PAP
(penilaian acuan patokan) dengan prinsip evaluasi berkelanjutan.
2.1 KBK
Membangun Sekolah Sebagai Pusat Pembangunan Karakter
Proses pembelajaran berbasis kompetensi (PBK)
akan mejadikan sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa. Mengapa?
Karena semua guru, baik guru mata pelajaran umum maupun kejuruan akan mendidik
siswanya berahlak mulia, atau berkarakter. Contohnya dalam PBK, guru fisika
membelajarkan siswa agar dapat memiliki konsep-konsep penting fisika (KI-3) dan
melatih siswanya agar dapat menggunakan konsep fisika tsb dalam kehidupan sehari-hari
(KI-4), yang memiliki manfaat bagi masyarakat (KI-2), sebagai pengabdiannya
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (KI-1). Bukankah guru fisika tersebut juga
mengajarkan karakter pada siswanya? Demikian juga guru Otomotif, ia
membelajarkan siswa agar dapat memiliki teknik otomotif (KI-3) dan melatih
siswanya agar dapat menggunakan teknik otomotif tersebut dalam pekerjaan dan
kehidupan sehari-hari (KI-4), yang memiliki manfaat bagi pelanggannya atau
masyarakat (KI-2), sebagai pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (KI-1.
Bukankah guru otomotif juga menjadi guru karakter? Maka dalam PBK semua guru
adalah guru karakter, dalam spesialisasi keilmuan dan kejuruannya
masing-masing. Pendidikan karakter tidak hanya merupakan tugas guru Pendidikan
Agama Islam (PAI) melainkan semua guru di sekolah.
Kesimpulannya adalah bahwa Pendidikan Berbasis
Kompetensi berorientasi pada ilmu, iman dan amal yang berintikan nilai-nilai
karakter. Pada saat ini semua sekolah sudah menggunakan Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Kalau sekolah belum
melakukan pendidikan yang berorientasi pada karakter, maka sekolah tersebut belum
melaksanakan KBK secara konsisten.
3.
Perubahan
Manajemen Pendidikan
Agenda reformasi
pendidikan yang kedua, adalah mengubah sistem yang manajemen, dari manajemen pendidikan
yang sentralistik menjadi manajemen berbasis sekolah (MBS). Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) ditetapkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 51 ayat 1, sbb:
Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, dan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Otonomi sekolah dalam konteks Manajemen Berbasis
sekolah (MBS) terlihat antara lain dalam fungsi perencanaan, yaitu diberi
kewenangan untuk menyusun kurikulum sekolahnya sendiri, yang disebut dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang ditetapkan dalam UU Sisdiknas
Tahun 2003 Pasal 38 ayat 2 sbb:
Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh
setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah dibawah koordinasi
dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota
untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Gambaran “otonomi sekolah” dalam melaksanakan
Pendidikan Berbasis Kompetensi juga terlihat didalam kewenangan pemberian STTB
(Surat Tanda Tamat Belajar). Bahwa sekolah dapat memberikan ijazah atau STTB
kepada lulusannya yang telah mengikuti ujian sekolah yang terakreditasi, yang
ditetapkan pada Pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas Tahun 2003 sbb:
Ijazah
diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar
dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi.
Perubahan dari manajemen pendidikan yang sentralistik dalam era orde
baru menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (Otonomi Sekolah) dalam era reformasi
merupakan suatu hal yang sangat rasional dan logis karena peningkatan mutu pendidikan hanya akan terjadi disekolah dimana
penanggung jawab pertama dan utamanya adalah Kepala Sekolah.
Dinas-dinas pendidikan Kota, Kabupaten dan
Provinsi memiliki motto yang sama seperti kementrian pendidikan yaitu tut
wuri handayani artinya dinas pendidikan provinsi bersama dinas
pendidikan kota mendorong dari belakang, agar manajeman sekolah (MBS) berhasil.
Siapa yang ing ngarso sung tulodo dan ing madyo mangun karso adalah
mereka kepala-kepala sekolah dan guru-guru.
Sudahkah
pola reformasi yang kedua ini dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah
pusat dan daerah?
Kalau pemerintah pusat masih ingin tetap
mengurusi kurikulum sekolah yang sebenarnya bertentangan dengan pasal 38 ayat 2
UU Sisdiknas tahun 2003, berarti pola MBS belum dilaksanakan secara konsisten.
Apabila pemerintah pusat masih melakukan UN yang dikaitkan dengan kelulusan
siswa dalam memperoleh STTB, berarti Pemerintah Pusat telah melanggar UU Sisdiknas
pasal 61 ayat 1 dan 2. Dengan kata lain Pemerintah melanggar UU yang dibuatnya
sendiri?
Kalau mutu pendidikan di Indonesia hanya ditinjau
dari nilai UN yang selalu menjadi masalah setiap tahun, artinya kita belum
memasuki masyarakat global. Mari kita lihat bagaimana nilai Ujian PISA (Program of Internasional Student Assessment)
yang diselenggarakan oleh OECD, bahwa anak-anak Indonesia hanya mendapat
rangking 2 dari bawah. Anak-anak Indonesia usia 15 tahun hanya mendapat
rangking 64 dalam bahasa, matematika dan IPA dari 65 negara (Data Tahun 2012).
Apakah rangking itu dapat dibanggakan secara regional? Padahal Malaysia yang
tahun 1970-an belajar ke Indonesia anak-anaknya mendapat rangking ... dalam
ujian PISA.
Quo Vadis
Pendidikan Indonesia.
4.
Perubahan
Peran dan Fungsi Kepala Sekolah
Dari kedua agenda reformasi tersebut, maka
terjadilah suatu perubahan yang signifikan dari peran dan fungsi Kepala
Sekolah. Kalau dalam era ordebaru kepala sekolah harus melaksanakan kurikulum
dari pusat yang dilaksanakan oleh guru-guru serta diawasi oleh pengawas dalam taraf
serap kurikulum pada tiap semester, artinya kepala sekolah masih berada dalam perintah kepala Kantor Departemen Pendidikan
Kabupaten dan Provinsi. Ahirnya kepala sekolah kurang memiliki tanggung jawab
dalam peningkatan mutu pendidikan. Berbeda dalam era reformasi, kepala sekolah
harus dapat mengembangkan kurikulum sekolahnya sendiri bersama guru-guru dalam
koordinasi dengan kepala dinas pendidikan. Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dimulai dengan menetapkan visi, misi dan tujuan pendidikan serta
strategi pencapaiannya. Oleh karena itu peran
dan fungsi kepala sekolah dalam era reformasi dibawah UU Sisdiknas tahun 2003
berubah menjadi direktur lembaga pendidikan yang memiliki kewenangan untuk
menyusun kurikulum sekolahnya, meskipun masih tetap dengan struktur yang
sama kurikulum nasional.
Melaksanakan kurikulumnya, dan memberi STTB
kepada siswa yang lulus ujian akhir sekolahnya. Pola ini sangat rasional sesuai
dengan teori yang dikatakan Sallis (1993) bahwa kepemimpin (kepala Sekolah)
merupakan tumpuan keberhasilan manajemen sekolah. Hal ini sejalan dengan sabda
Rosulullah Saw. bahwa tunggulah kehancurannya apabila salah menunjuk pemimpin.
Dengan demikian dalam era reformasi istilah
kepala sekolah sebaiknya diubah menjadi direktur sekolah. Namun demikian
istilah direktur memiliki konotasi luas dan dalam. Bahwa pemilihan kepala
sekolah harus melalui fit and proper test dengan standar kompetensi dan
kualifikasi minimal yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, merupakan suatu
konsekuensi logis.
Dengan kata lain penunjukan kepala
sekolah akan berdampak pada pemberdayaan
sekolah sebagai pusat pembangunan SDM yang cerdas, kompetitif, produktif, dan
berkarakter. Artinya baik buruknya sekolah akan sangat tergantung pada
kompetensi manajerial, kompetensi personal, sosial dan spiritual , serta
kepemimpinan (leadership) dari Kepala Sekolah.
Bandung, Desember 2015. (***)
*) Dr Hari Suderadjat, Drs, MPd
·
Tim Ahli DPRD Cimahi,
·
Direktur Pusat Pengembangan Pendidikan Ar Rafi’ Bandung
·
Ketua Yayasan Pendidikan Kewiraswastaan Ar Rafi’ Bandung,
·
Konsultan Internasional Bidang Pendidikan dan Pengembangan SDM,
ADB dan World Bank.
Posting Komentar