Ciamis (LawuPost) Jawa Barat dengan luas wilayah 3.710.061,32 hektar dan garis pantai sepanjang 755,83 km, secara geografis terletak pada posisi 5050-7050’LS dan 104048’-108048’ BT. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki iklim tropis, dengan suhu rata-rata berkisar antara 17,4 – 30,70 C dengan kelembaban udara antara 73-84%, jumlah hari hujan selama 1-26 hari setiap bulannya, serta curah hujan perbulan 3,6 hingga 332,8 mm. Dari aspek perekonomian, kondisi struktur ekonomi Jawa Barat tahun 2009 terdiri dari sektor industri pengolahan (42,20%), perdagangan hotel dan restaurant (20,32%), pertanian (12,25%), serta pertambangan dan galian (1,76%). Adapun proporsi PDRB Jawa Barat tahun 2009 terdiri dari sektor Pertambangan dan penggalian (19,93%), listrik gas dan air bersih (19,07%) serta pertanian (17,76%). Sementara PDRB per kapita Jawa Barat atas dasar harga berlaku pada tahun 2009 mencapai nilai 15.198.351,99 rupiah, sedangkan pada tahun 2008 hanya mencapai 14.306.452,44 rupiah atau mengalami kenaikan sebesar 6,23 persen.
Dengan kondisi sumber daya alam serta iklim ekonomi yang cukup menunjang, sejauh ini Jawa Barat terus mengembangkan beberapa komoditi unggulan, baik dari sektor pertanian, peternakan, perikanan, maupun perkebunan. Khusus untuk sektor perkebunan, dari 30 jenis komoditas perkebunan yang diusahakan di Jawa Barat terdapat 9 komoditas yang menjadi unggulannya, yaitu teh, tebu, cengkeh, kelapa, tembakau, karet, kopi, kakao dan akar wangi, sedangkan sisanya termasuk jenis komoditas perkebunan prospektif dan rintisan di Jawa Barat. Tembakau sebagai salah satu komoditas unggulan di Jawa Barat, selama kurun waktu 2006-2010 mengalami peningkatan produksi yang cukup signifikan, yaitu dari jumlah produksi sebesar 5.748, 80 ton pada tahun 2006 menjadi 7.498 ton pada tahun 2010 atau meningkat sebesar 30,42%. Adapun luas lahan perkebunan tembakau tahun 2010 telah mencapai sekitar 8.670 Ha yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota, dengan tingkat produktivitas pada tahun 2010 mencapai 0,865 ton per hektar.
Hal tersebut dikemukakan Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Barat kepada awak media ketika menggelar sosialisasi dana bagi hasil cuka hasil tembakau untuk peningkatan kualitas bahan baku beberapa waktu lalu. Dari informasi yang berhasil dihimpun tim LawuNews dari Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat, disamping sebagai penghasil tanaman tembakau, sejauh ini Jawa Barat juga dikenal sebagai daerah industri pengolahan hasil tembakau, khususnya industri rokok. Produksi rokok di Jawa Barat yang dihasilkan oleh industri besar mencapai 25.344 milyar batang rokok per tahunnya. Sementara yang dihasilkan industri kecil menengah sebesar 91.660.800 batang per tahunnya.
Rendahnya produktivitas industri kecil menengah tersebut dikarenakan proses produksinya dilakukan secara tradisional dengan menggunakan tangan manusia yang memiliki kemampuan produksi perorang sebanyak 320 batang per hari, sedangkan industri besar proses produksinya menggunakan mesin yang berkapastitas produksi 8.000 batang per menit. Agribisnis tembakau cukup menjanjikan terhadap peluang penyerapan tenaga kerja. Tahun 2009 tercatat tenaga kerja yang terserap pada industri tembakau 15.000 orang, dimana jumlah tersebut diluar tenaga kerja yang bekerja pada kegiatan penunjang industri rokok seperti distributor, agen maupun pengecer.
Salah satu daerah penghasil tanaman tembakau yakni Kabupaten Ciamis melalui Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten Ciamis, Agus Kurnia Kosasih, SH, M.Si didampingi Kasi Distribusi Barang dan Perlindungan Konsumen, Teti Hermiati kepada tim LawuNews mengatakan, sejauh ini komoditas tembakau dipandang sebagai komoditas yang menuai kontroversi. Satu sisi dari aspek ekonomi tembakau cukup menjanjikan peningkatan pendapatan petani dan pelaku industri tembakau, sedangkan dari aspek sosial bahwa komoditas ini dipandang memiliki dampak buruk terhadap gangguan kesehatan dan lingkungan sosial.
“Sejauh ini permasalahan umum yang sering terjadi pada agribisnis tembakau kiranya hampir merata sejak tahap off farm hulu, on farm hingga ke of farm hilir, diantaranya adalah permasalahan tentang produksi dan produktivitas tembakau masih rendah, rendahnya pengetahuan dan keterampilan pelaku budidaya, kualitas produksi yang belum terstandarisasi, para petani tembakau masih dominan membudidayakan tembakau lokal yang berkadar nikotin tinggi, hasil industri olahan lebih diorientasikan ke pasar dalam negeri, belum oftimalnya fungsi manajemen kelembagaan agribisnis tembakau, mata rantai pemasaran masih relatif panjang, perubahan iklim atau cuaca yang tidak menentu, merebaknya isu global tentang dampak negatid terhadap kesehatan, “kata Teti.
Dalam rangka memberikan pemahaman dan pengertian kalau produk tembakau/rokok harus dilengkapi pita cukai pihak Diskoperindag Kabupaten Ciamis beberapa waktu lalu menggelar kegiatan pengumpulan informasi hasil tembakau yang tidak terdeteksi cukai tembakau di 26 Kecamatan.“Hasil dari pengumpulan informasi tersebut agar para pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah terkait memahami dan mengerti kalau produk tembakau/rokok harus dilengkapi pita cukai. Karena untuk menambah pemasukan kepada negara kalaupun ada dilapangan para pengusaha yang tidak memahami tentang cukai tembakau tentu sangat berimbas kepada pendapatan negara dan jelas-jelas itu sangat merugikan pendapatan dari sektor bea dan cukai tidak terserap. Di Kabupaten Ciamis memang tidak banyak para pengusaha yang berkecimpung langsung dalam produk rokok dan tembahau cuman dibeberapa titik saja dan saat ini dalam pengawasan dan pembinaan pihak kami, “kata Teti. Hasil dari kegiatan ini, Teti menegaskan, agar para pelaku usaha dalam hal ini para pengusaha/penjual tembakau/rokok bisa benar-benar memahami/mengerti ketika ada produk barang tersebut tidak dilekati pita cukai berarti produk tersebut ilegal dan itu jelas kena sanksi pidana.
Ditempat berbeda, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis, drg. Engkan Iskandar, MM membenarkan bahwa dampak dari industri rokok terkait dengan salah satu penyebab turunnya derajat kesehatan masyarakat, hal tersebut sebagaimana yang ditunjukan oleh data dari instansi kesehatan, bahwa konsumsi rokok telah memberikan kontribusi sebesar 90% terhadap kejadian penyakit kanker paru-paru, 75% terhadap kejadian bronchitis dan 25% kejadian penyakit ischaemic heart disease. Dampak lainnya dari konsumsi rokok antara lain munculnya kelainan pada kehamilan, berat bayi kurang, stroke, kanker hati, kanker serviks dan diabetes. “Selain dampak terhadap kesehatan bagi perokok sendiri, ternyata konsumsi rokok juga berdampak ke penurunan kualitas lingkungan, khususnya terhadap perokok pasif. Hal tersebut ditunjukan dengan data tentang kebiasaan merokok, bahwa sebesar 81% perilaku merokok masyarakat Jawa Barat didalam rumah, sehingga disinyalir akan menyebabkan dampak tambahan bagi perokok pasif terus bertambah, “jelas Engkan yang menurutnya informasi tersebut diserapnya dari hasil sosialisasi tentang cukai tembakau di Provinsi Jawa Barat.
Fenomena lainnya, kata drg. Engkan, menurunnya derajat kesehatan warga Jawa Barat yaitu tingginya jumlah perokok didaerah ini dimana berdasarkan data pada Dinas Kesehatan jumlah perokok mencapai 26% dari jumlah penduduk tahun 2007, dengan rata-rata usia perokok 15-19 tahun sebanyak 59%. Dinegara berkembang rokok juga menjadi fenomena ironis terhadap kondisi kemiskinan masyarakatnya, dimana sebagian besar masyarakat miskin umumnya mengkonsumsi rokok aktif. Artinya jika diasumsikan bahwa konsumsi rokok tiap orang perhari 8,68 batang atau setara dengan uang sebesar Rp 4000 per orang per hari atau sebesar Rp 1.440.000 per orang per tahun, maka nilai belanja konsumsi rokok sebesar itu sama dengan 10% biaya konsumsi per keluarga. Dengan demikian biaya konsumsi rokok bagi masyarakat miskin adalah cukup signifikan pengaruhnya ke kondisi kemiskinan mereka. (mamay/dian)
Dengan kondisi sumber daya alam serta iklim ekonomi yang cukup menunjang, sejauh ini Jawa Barat terus mengembangkan beberapa komoditi unggulan, baik dari sektor pertanian, peternakan, perikanan, maupun perkebunan. Khusus untuk sektor perkebunan, dari 30 jenis komoditas perkebunan yang diusahakan di Jawa Barat terdapat 9 komoditas yang menjadi unggulannya, yaitu teh, tebu, cengkeh, kelapa, tembakau, karet, kopi, kakao dan akar wangi, sedangkan sisanya termasuk jenis komoditas perkebunan prospektif dan rintisan di Jawa Barat. Tembakau sebagai salah satu komoditas unggulan di Jawa Barat, selama kurun waktu 2006-2010 mengalami peningkatan produksi yang cukup signifikan, yaitu dari jumlah produksi sebesar 5.748, 80 ton pada tahun 2006 menjadi 7.498 ton pada tahun 2010 atau meningkat sebesar 30,42%. Adapun luas lahan perkebunan tembakau tahun 2010 telah mencapai sekitar 8.670 Ha yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota, dengan tingkat produktivitas pada tahun 2010 mencapai 0,865 ton per hektar.
Hal tersebut dikemukakan Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Barat kepada awak media ketika menggelar sosialisasi dana bagi hasil cuka hasil tembakau untuk peningkatan kualitas bahan baku beberapa waktu lalu. Dari informasi yang berhasil dihimpun tim LawuNews dari Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat, disamping sebagai penghasil tanaman tembakau, sejauh ini Jawa Barat juga dikenal sebagai daerah industri pengolahan hasil tembakau, khususnya industri rokok. Produksi rokok di Jawa Barat yang dihasilkan oleh industri besar mencapai 25.344 milyar batang rokok per tahunnya. Sementara yang dihasilkan industri kecil menengah sebesar 91.660.800 batang per tahunnya.
Rendahnya produktivitas industri kecil menengah tersebut dikarenakan proses produksinya dilakukan secara tradisional dengan menggunakan tangan manusia yang memiliki kemampuan produksi perorang sebanyak 320 batang per hari, sedangkan industri besar proses produksinya menggunakan mesin yang berkapastitas produksi 8.000 batang per menit. Agribisnis tembakau cukup menjanjikan terhadap peluang penyerapan tenaga kerja. Tahun 2009 tercatat tenaga kerja yang terserap pada industri tembakau 15.000 orang, dimana jumlah tersebut diluar tenaga kerja yang bekerja pada kegiatan penunjang industri rokok seperti distributor, agen maupun pengecer.
Salah satu daerah penghasil tanaman tembakau yakni Kabupaten Ciamis melalui Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kabupaten Ciamis, Agus Kurnia Kosasih, SH, M.Si didampingi Kasi Distribusi Barang dan Perlindungan Konsumen, Teti Hermiati kepada tim LawuNews mengatakan, sejauh ini komoditas tembakau dipandang sebagai komoditas yang menuai kontroversi. Satu sisi dari aspek ekonomi tembakau cukup menjanjikan peningkatan pendapatan petani dan pelaku industri tembakau, sedangkan dari aspek sosial bahwa komoditas ini dipandang memiliki dampak buruk terhadap gangguan kesehatan dan lingkungan sosial.
“Sejauh ini permasalahan umum yang sering terjadi pada agribisnis tembakau kiranya hampir merata sejak tahap off farm hulu, on farm hingga ke of farm hilir, diantaranya adalah permasalahan tentang produksi dan produktivitas tembakau masih rendah, rendahnya pengetahuan dan keterampilan pelaku budidaya, kualitas produksi yang belum terstandarisasi, para petani tembakau masih dominan membudidayakan tembakau lokal yang berkadar nikotin tinggi, hasil industri olahan lebih diorientasikan ke pasar dalam negeri, belum oftimalnya fungsi manajemen kelembagaan agribisnis tembakau, mata rantai pemasaran masih relatif panjang, perubahan iklim atau cuaca yang tidak menentu, merebaknya isu global tentang dampak negatid terhadap kesehatan, “kata Teti.
Dalam rangka memberikan pemahaman dan pengertian kalau produk tembakau/rokok harus dilengkapi pita cukai pihak Diskoperindag Kabupaten Ciamis beberapa waktu lalu menggelar kegiatan pengumpulan informasi hasil tembakau yang tidak terdeteksi cukai tembakau di 26 Kecamatan.“Hasil dari pengumpulan informasi tersebut agar para pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah terkait memahami dan mengerti kalau produk tembakau/rokok harus dilengkapi pita cukai. Karena untuk menambah pemasukan kepada negara kalaupun ada dilapangan para pengusaha yang tidak memahami tentang cukai tembakau tentu sangat berimbas kepada pendapatan negara dan jelas-jelas itu sangat merugikan pendapatan dari sektor bea dan cukai tidak terserap. Di Kabupaten Ciamis memang tidak banyak para pengusaha yang berkecimpung langsung dalam produk rokok dan tembahau cuman dibeberapa titik saja dan saat ini dalam pengawasan dan pembinaan pihak kami, “kata Teti. Hasil dari kegiatan ini, Teti menegaskan, agar para pelaku usaha dalam hal ini para pengusaha/penjual tembakau/rokok bisa benar-benar memahami/mengerti ketika ada produk barang tersebut tidak dilekati pita cukai berarti produk tersebut ilegal dan itu jelas kena sanksi pidana.
Ditempat berbeda, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis, drg. Engkan Iskandar, MM membenarkan bahwa dampak dari industri rokok terkait dengan salah satu penyebab turunnya derajat kesehatan masyarakat, hal tersebut sebagaimana yang ditunjukan oleh data dari instansi kesehatan, bahwa konsumsi rokok telah memberikan kontribusi sebesar 90% terhadap kejadian penyakit kanker paru-paru, 75% terhadap kejadian bronchitis dan 25% kejadian penyakit ischaemic heart disease. Dampak lainnya dari konsumsi rokok antara lain munculnya kelainan pada kehamilan, berat bayi kurang, stroke, kanker hati, kanker serviks dan diabetes. “Selain dampak terhadap kesehatan bagi perokok sendiri, ternyata konsumsi rokok juga berdampak ke penurunan kualitas lingkungan, khususnya terhadap perokok pasif. Hal tersebut ditunjukan dengan data tentang kebiasaan merokok, bahwa sebesar 81% perilaku merokok masyarakat Jawa Barat didalam rumah, sehingga disinyalir akan menyebabkan dampak tambahan bagi perokok pasif terus bertambah, “jelas Engkan yang menurutnya informasi tersebut diserapnya dari hasil sosialisasi tentang cukai tembakau di Provinsi Jawa Barat.
Fenomena lainnya, kata drg. Engkan, menurunnya derajat kesehatan warga Jawa Barat yaitu tingginya jumlah perokok didaerah ini dimana berdasarkan data pada Dinas Kesehatan jumlah perokok mencapai 26% dari jumlah penduduk tahun 2007, dengan rata-rata usia perokok 15-19 tahun sebanyak 59%. Dinegara berkembang rokok juga menjadi fenomena ironis terhadap kondisi kemiskinan masyarakatnya, dimana sebagian besar masyarakat miskin umumnya mengkonsumsi rokok aktif. Artinya jika diasumsikan bahwa konsumsi rokok tiap orang perhari 8,68 batang atau setara dengan uang sebesar Rp 4000 per orang per hari atau sebesar Rp 1.440.000 per orang per tahun, maka nilai belanja konsumsi rokok sebesar itu sama dengan 10% biaya konsumsi per keluarga. Dengan demikian biaya konsumsi rokok bagi masyarakat miskin adalah cukup signifikan pengaruhnya ke kondisi kemiskinan mereka. (mamay/dian)
Posting Komentar