Padalarang (LawuPost) - Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia, bersama Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga
Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Barat, serta BP3AKB Kabupaten Bandung Barat
(KBB), mengadakan Rapat Koordinasi (Rakor)
dengan tajuk “Penguatan Kader PATBM
Kabupaten Bandung Barat”, bertempat di Aula Desa Jayamekar, Kecamatan
Padalarang, KBB, akhir September 2016.
Pada kesempatan tersebut hadir
sejumlah stakeholder yang berkaitan
dengan PATBM atau kependekan dari
Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat, diantaranya Dewi Fortuna
Anwar, aktivis perempuan dan perlindungan anak, yg mewakili kemen P3AI pusat,
Dr.Dra.Endah Ratnawaty Chotim,M.Ag.,M.Si., perwakilan dari BP3AKB Provinsi Jawa Barat, kemudian Hj.Euis Siti
Jamilah,S.Pd.,M.Pd., sebagai Kepala Bidang (Kabid) BP3AKB KBB, Camat
Padalarang,Drs.H.Slamet Nugraha, Ketua TP PKK Desa Jayamekar yg juga istri
camat Padalarang, Hj.Siti Khoeriah,
Dijelaskan
Dewi Fortuna Anwar, perlindungan terhadap anak sangat mendesak untuk segera
dibuatkan regulasinya sebagai payung hukum, dalam hal ini bersinergi dengan GOW
dan BKOW mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai kab/kota, karena
keberlangsungan generasi muda tidak terlepas dari tumbuhnya manusia dari masa
anak-anak, anak perlu dilindungi akan hak-haknya.
Hal senada dikatakan Endah
Ratnawati, menurutnya anak-anak harus dilindungi dari para predator yang akan merusak generasi muda, terutama dengan membuat
perundang-undangan yang memperberat hukuman buat mereka yang melakukan
kekerasan dan pelecehan terhadap anak, regulasi tersebut harus melibatkan semua
unsur dengan tujuan untuk menyelamatkan generasi muda, dalam hal ini KBB dan
Cirebon mewakili Jawa Barat.
Ditambahkan, di Jawa Barat,
kenapa dipilih Cirebon dan KBB, karena kedua daerah tersebut sangat rawan dalam
hal pelanggaran terhadap hak anak, meski bukan berarti di kab/kota lain tidak
ada, adapun khusus di KBB sebetulnya ada 2 desa yg menjadi pilot, selain Desa Jayamekar di Kec.Padalarang, juga ada Desa
Tanjungwangi, Kecamatan Cihampelas, kedua desa dinilai mewakili kasus yang sama
dalam hal pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Pertama di Jabar
Sementara Kabid BP3AKB KBB,
Hj.Euis Siti Jamilah,S.Pd.,M.Pd., menjelaskan
bahwa lembaga yang dipimpinnya berfungsi sebagai pemberi support, mengadakan
penguatan kepada para kader PATBM di desa-desa
yang dilaksanakan secara terpadu dan bermitra dengan dinas/instansi
lainnya seperti bidang kesehatan, pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan yang
tidak kalah pentingnya adalah partisipasi dari warga masyarakat, supaya
masyarakat lebih peduli lagi akan pentingan perlindungan terhadap anak dan
menjaga generasi muda untuk masa yang akan datang, khususnya di KBB dan umumnya
di Jawa Barat.
“Harapan saya, dengan adanya PATBM di KBB ini, maka masyarakat akan
tersadar akan pentingnya perlindungan terhadap anak, sebagai generasi penerus
dalam estafet kehidupan bangsa
Indonesia, serta menjaga generasi muda dari kerusakan moral, sehingga slogan
stop kekerasan pada anak harus terus disosialisasikan,” Tegas Euis Siti
Jamilah.
Ditambahkannya, fungsi penguatan
dalam perlindungan anak yang berbasis masyarakat, merupakan hal pertama di KBB
dan Jawa Barat, sehingga tidak berlebihan jika PATBM dapat dijadikan lembaga
yang berbadan hukum, hal tersebut diungkapkan dalam pertemuan kecil dari
beberapa elemen pendukung seperti PKK, Karang Taruna, BPD dll.
“Kalau PATBM sudah berbadan hukum malah lebih leluasa bergerak karena
akan ada payung hukum yang menaunginya, meski tanpa berbadan huku juga tetap
bisa berjalan,” Ujarnya.
Pada kesempatan lain Ketua TP
PKK KBB, Siti Khoeriah, menjelaskan sejauh ini di desanya yg berpenduduk 17.760
Jiwa, yg membawahi 3 dusun, 24 RW, 105 Rtdan 5222 KK, telah memiliki 10 orang
kader PATBM dan sekarang telah berkembang menjadi 44 kader yg berasal dari
unsur PKK, Karang Taruna, BPD, pendidik, tokoh masyarakat dll, mereka
bahu-membahu menjalankan program yang sudah berjalan.
Dikatakan Siti, secara garis
besar ada 3 isue di Desa Jayamekar yang melibatkan anak dalam konteks negatif,
diantaranya eksploitasi anak, contohnya anak yang semestinya masih sekolah tapi
malah berjualan cobek, kemudian pernikahan dini (usia sangat belia), yg mana
perempuan berusia 14 tahun ke bawah sudah dinikahkan orangtuanya dengan alasan
budaya (culture) masyarakat, dan penelantaran
pada anak padahal kedua orangtuanya lengkap.
“Hal-hal seperti disebutkan tadi
sejatinya memang banyak terdapat di Desa Jayamekar, hal ini menjadi pekerjaan
kami di desa, tentu saja dengan bantuan dari berbagai elemen semuanya bisa
dikerjakan bersama-sama,” Ujar Siti. (agus ks/diat rahmat)
Posting Komentar