Bandung (LawuPost) Kasdam III/Siliwangi Brigjen TNI Wuryanto menjadi salah satu nara sumber pada acara dialog interaktif Ke-Indonesiaan- dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda ke 87 Tahun 2015. Acara tersebut digelar oleh Organisasi Indonesia Tionghoa (INTI), di gedung Bandung Convention Center, Bandung, pada 27 Oktober 2015. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengingatkan kesadaran anak muda Indonesia mengenai persatuan dan cinta tanah air.
Dialog interaktif tersebut selain menampilkan para pembicara adalah Kepala Staf Kodam III Jawa Barat Brigjen Wuryanto, juga hadir Wakil Ketua Perwakilan Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Ki Agus Deden Mubarok, dan Wakil Rektor Universitas Telkom Yahya Anwiyah serta Ceu Popong, anggota DPR RI.
Kasdam III/Siliwangi Brigjen Wuryanto menyatakan Indonesia sebagai negara yang kaya, lengkap, semua ada, cuma ada permasalahan di bangsa ini, sehingga di Negara yang kaya ini masih terdapat masyarakat yang miskin dan tidak sejahtera.
Padahal, menurut Wuryanto, mengingat 87 tahun lalu, ketika Sumpah Pemuda dicanangkan pada 1928, muncul energy positif untuk memperjuangkan bangsa ini dari penjajahan melalui energy ‘Merdeka atau Mati’.
Pada 1945, Indonesia merdeka. Para pendiri dan tokoh ulama, kata Wuryanto ketika itu tidak memaksakan dasar Negara bukan Islam, karena mereka memahami Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, dan agama. “Hal itu hanya bisa disatukan dengan Pancasila,” kata dia.
Persoalan sekarang, lanjut Wuryanto, kita tidak menyadari apa yang sudah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa ini untuk kemajuan bangsa ini. “Sehingga kita mudah diadu domba, mudah menjual Negara ini hanya untuk kepentingan kelompok dan golongan,” kata Wuryanto.
Ki Agus Deden Mubarok menyatakan, Pembukaan UUD 45, tidak bisa diubah. Kalau kita melihat pluralitas dari berbagai suku, agama dan bahasa, hanya satu kesepakatannya yaitu Pancasila yang termaktub dalam UUD 45. Kerushan yang terjadi, tentang bagaimana Indonesia menjadi Negara yang belum selesai, karena masing-masing kita belum masuk menjadikan Pancasila sebagai prilaku kita bersama.
Tidak perlu Anda melihat etnik, bahasa atau suku. Keterikatan kita kepada Negara adalah bayar pajak. Kalau pada hari Anda belum bayar pajak masih dipertanyakan ke- Indonesian-nya. Tidak ada masalah dengan agama, bahasa, suku, atau etnik. Tunjukan kesetiaan terhadap Negara dengan membayar pajak.
Wakil Rektor Tel-U Yahya mengatakan, pemuda Indonesia menunjukan cintanya dengan emosi, sering kali kondisi melukai perjalanan ini. Kita sudah dihadapan kita direcoki oleh peristiwa Madiun, G30 S PKI. Era reformasi 98 yang menelan korban. Ini harusnya mengalahkan cara berpikir menerapkan pendidikan yang baik dengan memberikan contoh yang baik.
Menurut Yahya, begitu banyak pergolakan yang ada, tapi teks Sumpah Pemuda tidak dikutak-kutik. Tidak ada tokoh-tokoh yang mengucapkan Sumpah Pemuda itu yang kemudian menjadi penguasa, sehingga tidak ada niat-niat tertentu dari pemuda ketika itu.
Karena itu, lanjut Yahya, pendidikan dan nasionalisme harus dibangun bersama-sama. Jika pejabat, ulama, pengusaha, politikus kalau betul-betul NKRI harga mati, pegang Sumpah Pemuda. “Pengusaha jangan mempengaruhi pejabat, partai politik tidak menggeser demokrasi dari rakyat oleh rakyat, dan tidak menjadi tirani,” kata Yahya.
Ceu Popong Djunjunan menyatakan, makna Sumpah Pemuda merupakan tahap kedua dalam proses untuk mencapai kemerdekaan. Ada tiga tahap yaitu, pertama pada 1902 melalui pergerakan Budi Utomo, dan pergerakan-pergerakan lainnya, sehingga tumbuh Kebangkitan Nasional pada 1908, kedua, melalui kongres Sumpah Pemuda, dan tahap ketiga adalah pembentukan Negara 17 Agustus 1945. “Satu tanah air, satu bahasa Indonesia, menjunjung tinggi bangsa Indonesia,” kata dia.
Menurut Selfana Gunawan, Ketua Panitia, dengan mencintai tanah air, kelak ketika pemuda mengemban jabatan, dia tidak tidak korupsi, dan menjadi 100 persen Indonesia. “Kalau bukan oleh kita oleh siapa, kalau bukan dari sekarang, kapan?” kata dia.
“Rasa cinta tanah air harus kita buktikan dengan pengabdian nyata, seperti menjaga lingkungan, tidak tawuran, memiliki sikap toleransi yang tinggi, dan faham bahasa Indonesia, sebelum memahami bahasa asing,” kata Selfana.
Posting Komentar