Pangkep (LawuPost) Ternyata sebagian besar kepala sekolah selama ini kurang bisa menilai kinerja gurunya, sehingga tidak banyak mengetahui tingkat kemampuan guru dan apa-apa yang dibutuhkan guru untuk meningkatkan kemampuannya. “Ini terlihat jelas dari nilai hasil Uji Kompetensi Kepala Sekolah (UKKS) secara nasional yang dikeluarkan oleh Kemendikbud 2015. Dimensi yang paling rendah terletak pada nilai supervisi yaitu 36,45.
Pengamatan kami, nilai ini benar-benar tercermin di lapangan,” ujar Jamaruddin, Provincial Coordinator USAID PRIORITAS Sulsel disela-sela pelatihan Penilaian Kinerja Guru untuk 30 kepala sekolah di Pangkep (12/9).
Menurut Jamaruddin, ada tiga hal yang menyebabkan kemampuan kepala sekolah dalam melakukan supervisi masih sangat rendah.
Pertama pemahaman terhadap instrumen penilaian kinerja guru tidak tuntas. Sebagaian besar belum mengetahui bagaimana format indikator-indikator penilaian dioperasionalkan dalam supervisi yang mereka lakukan. “Sehingga kalau ada lima orang kepala sekolah menilai satu guru yang sama, bisa jadi ada lima nilai keluar yang berbeda,” ujar Jamaruddin.
Kedua, waktu penilaian. Waktu penilaian tidak kontinyu. Biasanya dilakukan cuma dua kali dalam satu semester, pertama supervisi administrasi yang dilakukan di awal semester dan kedua supervisi proses di akhir semester. “Supervisi seharusnya disempatkan dilakukan setiap saat, apalagi supervisi klinis, agar guru bisa ketahuan apa yang kurang dan langsung bisa ditangani,” ujar Jamaruddin.
Ketiga, pengawasan ketika menilai guru tidak komprehensif. Menurut Jamaruddin, kalaupun paham, dan melakukan supervisi setiap saat, bisa jadi pengawas tidak komprehensif dalam menilai. Dalam melakukan supervisi, yang dilakukan cuma sampai pengamatan. “Seharusnya bukan cuma melakukan pengamatan, tapi perlu secara langsung melakukan wawancara dengan siswa, umpamanya tentang penerimaan pembelajaran dan langsung melakukan studi dokumen dengan memeriksa rpp, media dan lembar kerja siswa,” ujarnya.
“Yang terlihat, mereka seringkali menggunakan jurus sapu jagat. Kalau guru sudah rajin masuk mengajar, maka semua nilai yang lain baik, sehingga kita tidak tahu kebutuhan pelatihan apa yang perlu diberikan pada guru sesuai dengan kelemahannya tersebut,” ungkapnya.
Sementara menurut Fadiah Mahmud, problema yang melanda kepala sekolah adalah mereka tidak terbiasa menuliskan hasil supervisinya segera, sehingga fakta-fakta hasil supervisi tak terdokumentasikan dengan baik. “Mereka seharusnya lebih rajin menulis tiap saat setiap melakukan supervisi, dan langsung dijadikan bahan refleksi dan evaluasi. Sehingga tidak ada lagi kejadian PKG ditulis oleh operator sekolah,” ujarnya mensinyalir ada kepala sekolah yang menyuruh nilai kinerja guru diserahkan ke operator sekolah.
Tidak sebagaimana pelatihan yang biasa dilakukan di tempat lain, pelatihan PKG yang dilakukan oleh USAID PRIORITAS langsung dipraktekkan. Para kepala sekolah langsung praktik menilai guru yang sedang mengajar di kelas. “Ini berbeda dengan pelatihan yang kami terima sebelumnya, membuat kami langsung bisa mengerti tentang mengoperasionalkan indikator penilaian,” ujar Siti Bahra, Kepala Sekolah SDN 17 Bontosunggu Pangkep.(red)


Pertama pemahaman terhadap instrumen penilaian kinerja guru tidak tuntas. Sebagaian besar belum mengetahui bagaimana format indikator-indikator penilaian dioperasionalkan dalam supervisi yang mereka lakukan. “Sehingga kalau ada lima orang kepala sekolah menilai satu guru yang sama, bisa jadi ada lima nilai keluar yang berbeda,” ujar Jamaruddin.
Kedua, waktu penilaian. Waktu penilaian tidak kontinyu. Biasanya dilakukan cuma dua kali dalam satu semester, pertama supervisi administrasi yang dilakukan di awal semester dan kedua supervisi proses di akhir semester. “Supervisi seharusnya disempatkan dilakukan setiap saat, apalagi supervisi klinis, agar guru bisa ketahuan apa yang kurang dan langsung bisa ditangani,” ujar Jamaruddin.
Ketiga, pengawasan ketika menilai guru tidak komprehensif. Menurut Jamaruddin, kalaupun paham, dan melakukan supervisi setiap saat, bisa jadi pengawas tidak komprehensif dalam menilai. Dalam melakukan supervisi, yang dilakukan cuma sampai pengamatan. “Seharusnya bukan cuma melakukan pengamatan, tapi perlu secara langsung melakukan wawancara dengan siswa, umpamanya tentang penerimaan pembelajaran dan langsung melakukan studi dokumen dengan memeriksa rpp, media dan lembar kerja siswa,” ujarnya.
“Yang terlihat, mereka seringkali menggunakan jurus sapu jagat. Kalau guru sudah rajin masuk mengajar, maka semua nilai yang lain baik, sehingga kita tidak tahu kebutuhan pelatihan apa yang perlu diberikan pada guru sesuai dengan kelemahannya tersebut,” ungkapnya.
Sementara menurut Fadiah Mahmud, problema yang melanda kepala sekolah adalah mereka tidak terbiasa menuliskan hasil supervisinya segera, sehingga fakta-fakta hasil supervisi tak terdokumentasikan dengan baik. “Mereka seharusnya lebih rajin menulis tiap saat setiap melakukan supervisi, dan langsung dijadikan bahan refleksi dan evaluasi. Sehingga tidak ada lagi kejadian PKG ditulis oleh operator sekolah,” ujarnya mensinyalir ada kepala sekolah yang menyuruh nilai kinerja guru diserahkan ke operator sekolah.
Tidak sebagaimana pelatihan yang biasa dilakukan di tempat lain, pelatihan PKG yang dilakukan oleh USAID PRIORITAS langsung dipraktekkan. Para kepala sekolah langsung praktik menilai guru yang sedang mengajar di kelas. “Ini berbeda dengan pelatihan yang kami terima sebelumnya, membuat kami langsung bisa mengerti tentang mengoperasionalkan indikator penilaian,” ujar Siti Bahra, Kepala Sekolah SDN 17 Bontosunggu Pangkep.(red)