Makassar (LawuPost) Dua orang pendidik, yaitu Farida Ohan dosen Universitas Negeri Makassar dan Nurcaya Pengawas Maros Sulsel, membacakan cerpen Pohon Hayat, karya Mashdar Zainal. Ruangan sengaja dimatikan lampunya, intonasi pembacaan dan penjiwaan yang dalam mereka terhadap bacaan membuat audiens terpekur, terhanyut merenungkan kematian, bahkan ada yang sampai menangis. Fragmen ini adalah salah satu sesi pelatihan USAID PRIORITAS tentang pengelolaan budaya baca yang di hadiri 40 peserta dari enam kabupaten/kota di Sulsel (Horison Makassar, 17/8). Fragmen ini diharapkan menginspirasi peserta dan menerapkannya di kabupaten masing-masing sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan minat baca.

“Untuk mengatasi krisis minat baca di Indonesia, salah satu strategi yang kita adalah membacakan cerita dengan cara yang menarik dan mendalam di depan para siswa ,” ujar Fadiah Macmud, Spesialis Pengembangan Sekolah USAID PRIORITAS Sulsel.
Menurut Fadiah Machmud, krisis literasi Indonesia sudah sangat memprihatinkan, sehingga diperlukan banyak strategi dan terobosan untuk mengatasinya. Sambil mengutip presentasi Anis Baswedan di hadapan Kepala Dinas Pendidikan seluruh provinsi pada 1 Desember 2014 yang menyebut keadaan ini sebagai “Gawat Darurat”, berharap semua pihak memiliki sense of urgency terhadap krisis ini. “Kalau sudah masuk ruang gawat darurat, berarti harus dilakukan penyelamatan dengan banyak strategi dan terobosan, ” ujarnya.
Menurut Fadiah Machmud, gerakan budaya baca dengan mendorong pendirian infrastruktur budaya baca seperti pengadaan buku, sudut baca, dan taman baca serta strateginya dengan membaca senyap, membaca bersama-sama dan lain lain, harusnya bisa diprogramkan secara massif di tengah masyarakat, terutama di sekolah.
Namun menurutnya gerakan semacam itu belumlah cukup, perlu juga membuat gerakan yang berfokus pada isi buku itu sendiri. “Isi buku perlu dipaparkan kepada orang sehingga orang tertarik membacanya, bisa lewat resensi, atau lewat pembacaan cerita dengan penjiwaan kepada orang lain, seperti yang kami lakukan pada pelatihan ini,” ujarnya.
Dengan pembacaan cerita seperti yang dilakukan oleh kedua pendidik itu, para peserta mendapatkan pengalaman baru. Mereka menjadi lebih menyelami bacaan, empati mereka terbangun dan termotivasi juga untuk membaca lebih jauh. “Diperlukan pencerita yang baik, suasana yang disetting sedemikian rupa, dan isi cerita yang menunjang,” ujar Fadiah. Menurutnya, program seperti ini penting sekali dilakukan di sekolah terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki budaya membaca. Pengalaman menyimak cerita seperti ini bisa menunjukkan kepada siswa bahwa di dalam buku ada hal yang mengasyikkan, penting dan bermakna.
Menurut Fadiah, semua guru bisa menjadi pencerita yang baik, dengan berlatih sendiri bagaimana intonasi dan penjiwaannya sehingga ketika membaca di hadapan anak-anak bisa memprovokasi kepekaan rasa anak-anak terhadap cerita. Ia berharap, para peserta pelatihan, tidak hanya akan melatihkan model tersebut ke pada pendidik di daerah, tapi juga menerapkannya di sekolah tempat ia bekerja. “Kalau model seperti ini disebarkan secara meluas ke sekolah-sekolah dan dilatihkan juga kepada anak-anak, mereka tidak hanya akan terpicu memahami bacaan, tapi juga menjiwai dan mengekspresikannya. Hal ini sangat penting mengurangi krisis literasi di Indonesia. Literasi bukan cuma melek huruf tapi juga memahami bacaan,”ujarnya.
Seorang peserta pelatihan dari LPMP, Marlin menyatakan bahwa model tersebut akan memaksa guru juga untuk membaca sebelum membacakannya ke orang lain. “Kalau dilakukan secara massif, banyak guru akan terbiasa terlebih dahulu membaca dan menginternalisasi bacaan ke dalam dirinya, sebelum ia bercerita kepada anak-anak. Kalau guru sudah rajin membaca, ia menjadi contoh bagi anak didiknya” ujarnya. Peserta Pelatihan Modul III Manajemen Berbasis Sekolah USAID PRIORITAS berasal dati tujuh kabupaten di Sulsel yaitu Maros, Bantaeng, Wajo, Sidrap, Soppeng dan Pinrang. (red)

“Untuk mengatasi krisis minat baca di Indonesia, salah satu strategi yang kita adalah membacakan cerita dengan cara yang menarik dan mendalam di depan para siswa ,” ujar Fadiah Macmud, Spesialis Pengembangan Sekolah USAID PRIORITAS Sulsel.
Menurut Fadiah Machmud, krisis literasi Indonesia sudah sangat memprihatinkan, sehingga diperlukan banyak strategi dan terobosan untuk mengatasinya. Sambil mengutip presentasi Anis Baswedan di hadapan Kepala Dinas Pendidikan seluruh provinsi pada 1 Desember 2014 yang menyebut keadaan ini sebagai “Gawat Darurat”, berharap semua pihak memiliki sense of urgency terhadap krisis ini. “Kalau sudah masuk ruang gawat darurat, berarti harus dilakukan penyelamatan dengan banyak strategi dan terobosan, ” ujarnya.
Menurut Fadiah Machmud, gerakan budaya baca dengan mendorong pendirian infrastruktur budaya baca seperti pengadaan buku, sudut baca, dan taman baca serta strateginya dengan membaca senyap, membaca bersama-sama dan lain lain, harusnya bisa diprogramkan secara massif di tengah masyarakat, terutama di sekolah.
Namun menurutnya gerakan semacam itu belumlah cukup, perlu juga membuat gerakan yang berfokus pada isi buku itu sendiri. “Isi buku perlu dipaparkan kepada orang sehingga orang tertarik membacanya, bisa lewat resensi, atau lewat pembacaan cerita dengan penjiwaan kepada orang lain, seperti yang kami lakukan pada pelatihan ini,” ujarnya.
Dengan pembacaan cerita seperti yang dilakukan oleh kedua pendidik itu, para peserta mendapatkan pengalaman baru. Mereka menjadi lebih menyelami bacaan, empati mereka terbangun dan termotivasi juga untuk membaca lebih jauh. “Diperlukan pencerita yang baik, suasana yang disetting sedemikian rupa, dan isi cerita yang menunjang,” ujar Fadiah. Menurutnya, program seperti ini penting sekali dilakukan di sekolah terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki budaya membaca. Pengalaman menyimak cerita seperti ini bisa menunjukkan kepada siswa bahwa di dalam buku ada hal yang mengasyikkan, penting dan bermakna.
Menurut Fadiah, semua guru bisa menjadi pencerita yang baik, dengan berlatih sendiri bagaimana intonasi dan penjiwaannya sehingga ketika membaca di hadapan anak-anak bisa memprovokasi kepekaan rasa anak-anak terhadap cerita. Ia berharap, para peserta pelatihan, tidak hanya akan melatihkan model tersebut ke pada pendidik di daerah, tapi juga menerapkannya di sekolah tempat ia bekerja. “Kalau model seperti ini disebarkan secara meluas ke sekolah-sekolah dan dilatihkan juga kepada anak-anak, mereka tidak hanya akan terpicu memahami bacaan, tapi juga menjiwai dan mengekspresikannya. Hal ini sangat penting mengurangi krisis literasi di Indonesia. Literasi bukan cuma melek huruf tapi juga memahami bacaan,”ujarnya.
Seorang peserta pelatihan dari LPMP, Marlin menyatakan bahwa model tersebut akan memaksa guru juga untuk membaca sebelum membacakannya ke orang lain. “Kalau dilakukan secara massif, banyak guru akan terbiasa terlebih dahulu membaca dan menginternalisasi bacaan ke dalam dirinya, sebelum ia bercerita kepada anak-anak. Kalau guru sudah rajin membaca, ia menjadi contoh bagi anak didiknya” ujarnya. Peserta Pelatihan Modul III Manajemen Berbasis Sekolah USAID PRIORITAS berasal dati tujuh kabupaten di Sulsel yaitu Maros, Bantaeng, Wajo, Sidrap, Soppeng dan Pinrang. (red)