Pangandaran(LawuPost)Masyarakat nelayan di Pantai Timur Pangandaran saat ini merasa cemas. Pasalnya hingga kini masih belum ada kejelasan mengenai Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Perairan Indonesia. Pasca Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan ini ditunda hingga September 2015 mendatang, belum ada solusi mengenai kelanjutan Peraturan Menteri yang mulanya akan dilaksanakan pada awal tahun 2015 itu.
Kecemasan tersebut salah satunya dirasakan Soimah (42), pemilik jaring arad yang masuk kategori pukat hela di Pantai Timur Pangandaran. Ia merasa kebingungan dengan ketidakpastian aturan tersebut. Sampai saat ini, belum ada solusi dari pemerintah daerah untuk nelayan jaring arad jika aturan tersebut benar-benar dilaksanakan. Dirinya juga mengaku belum terpikirkan mencari mata pencaharian baru mengingat selama ini hidupnya bergantung pada hasil laut. “Kami pasrah saja, dilaksanakan atau tidaknya aturan tersebut. Kabarnya kan ketok palunya September. Tapi kami kebingungan kalau benar-benar dilarang mau usaha apa lagi, ”kata Soimah ditemui tim Lawu News di Pantai Timur Pangandaran.
Menurut Soimah, meski tidak bisa dibilang besar, penghasilannya sebagai pemilik jaring arad cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari. Untuk satu kali tangkapan dirinya bisa meraup sekitar Rp 200.000. Jika tangkapan sedang ramai, penghasilannya tentu bisa semakin bertambah. Penghasilan ini pun dibagi lagi dengan 15 pekerjanya dengan sistem bagi hasil. “Tidak besar memang pendapatannya, tapi cukup. Walaupun tahun ini seringnya paceklik. Tapi kalau benar-benar dilarang ya semakin enggak ada penghasilan kami. Yang saya tahu udah enggak boleh aja. Kabarnya mau diganti alat, tapi belum ada kepastian juga sampai saat ini, ”sambungnya.
Hal yang sama dituturkan Sapon (40). Nelayan jaring arad ini mengaku pasrah menunggu kepastian peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi pujiastuti tersebut. Menurutnya, jika dilarang, nelayan bisa saja memilih menangkap ikan langsung ke tengah laut. Namun, untuk itu tentu diperlukan modal besar sekitar Rp 30 juta untuk membeli perahu, mesin, dan kelengkapan melaut lainnya. “Kalau jaring arad kan nelayannya kerja sama, karena modal yang terbatas juga. Ada yang mengoperasikan perahu, menarik jaring, memilah ikan. Nanti penghasilannya berapa dihitung dari bagi hasil dengan pemilik jaring. Kalau ada bantuan setelahnya sih enggak masalah, ”kata Sapon.
Karena banyaknya tenaga yang digunakan oleh nelayan jaring arad, kata Sapon, pelarangan penggunaan jaring arad pun tentu akan melahirkan banyak pengangguran baru. Oleh karena itu, banyak nelayan jaring arad yang kini khawatir kehilangan mata pencaharian. Sapon sendiri, mengaku akan beralih profesi menjadi kuli bangunan jika tak ada bantuan dari pemerintah setelah aturan itu ditetapkan.
Sementara itu Kepala Bidang Kelautan Dinas Kelautan Pertanian dan Kehutanan Pangandaran, Alan Suherlan menuturkan, untuk saat ini pihaknya masih melakukan pendataan terkait jumlah nelayan dan unit jenis alat tangkap yang tidak ramah lingkungan di Pangandaran. Selain itu, berdasarkan hasil kesepakatan bersama DPRD Pangandaran dan Dinas Kelautan Pertanian dan Kehutanan disepakati alat tangkap tersebut masih beroperasi sampai ada alat tangkap pengganti lain yang ramah lingkungan. “Dinas juga bekerjasama dengan Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Tegal mengadakan pelatihan pembuatan alat dan pengoperasian alat tangkap ramah lingkungan selama satu minggu dengan 30 orang peserta. Hasil pelatihan ini bertahap bisa disosialisasikan, ”ucapnya. (mamay/dian)
Kecemasan tersebut salah satunya dirasakan Soimah (42), pemilik jaring arad yang masuk kategori pukat hela di Pantai Timur Pangandaran. Ia merasa kebingungan dengan ketidakpastian aturan tersebut. Sampai saat ini, belum ada solusi dari pemerintah daerah untuk nelayan jaring arad jika aturan tersebut benar-benar dilaksanakan. Dirinya juga mengaku belum terpikirkan mencari mata pencaharian baru mengingat selama ini hidupnya bergantung pada hasil laut. “Kami pasrah saja, dilaksanakan atau tidaknya aturan tersebut. Kabarnya kan ketok palunya September. Tapi kami kebingungan kalau benar-benar dilarang mau usaha apa lagi, ”kata Soimah ditemui tim Lawu News di Pantai Timur Pangandaran.
Menurut Soimah, meski tidak bisa dibilang besar, penghasilannya sebagai pemilik jaring arad cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari. Untuk satu kali tangkapan dirinya bisa meraup sekitar Rp 200.000. Jika tangkapan sedang ramai, penghasilannya tentu bisa semakin bertambah. Penghasilan ini pun dibagi lagi dengan 15 pekerjanya dengan sistem bagi hasil. “Tidak besar memang pendapatannya, tapi cukup. Walaupun tahun ini seringnya paceklik. Tapi kalau benar-benar dilarang ya semakin enggak ada penghasilan kami. Yang saya tahu udah enggak boleh aja. Kabarnya mau diganti alat, tapi belum ada kepastian juga sampai saat ini, ”sambungnya.
Hal yang sama dituturkan Sapon (40). Nelayan jaring arad ini mengaku pasrah menunggu kepastian peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi pujiastuti tersebut. Menurutnya, jika dilarang, nelayan bisa saja memilih menangkap ikan langsung ke tengah laut. Namun, untuk itu tentu diperlukan modal besar sekitar Rp 30 juta untuk membeli perahu, mesin, dan kelengkapan melaut lainnya. “Kalau jaring arad kan nelayannya kerja sama, karena modal yang terbatas juga. Ada yang mengoperasikan perahu, menarik jaring, memilah ikan. Nanti penghasilannya berapa dihitung dari bagi hasil dengan pemilik jaring. Kalau ada bantuan setelahnya sih enggak masalah, ”kata Sapon.
Karena banyaknya tenaga yang digunakan oleh nelayan jaring arad, kata Sapon, pelarangan penggunaan jaring arad pun tentu akan melahirkan banyak pengangguran baru. Oleh karena itu, banyak nelayan jaring arad yang kini khawatir kehilangan mata pencaharian. Sapon sendiri, mengaku akan beralih profesi menjadi kuli bangunan jika tak ada bantuan dari pemerintah setelah aturan itu ditetapkan.
Sementara itu Kepala Bidang Kelautan Dinas Kelautan Pertanian dan Kehutanan Pangandaran, Alan Suherlan menuturkan, untuk saat ini pihaknya masih melakukan pendataan terkait jumlah nelayan dan unit jenis alat tangkap yang tidak ramah lingkungan di Pangandaran. Selain itu, berdasarkan hasil kesepakatan bersama DPRD Pangandaran dan Dinas Kelautan Pertanian dan Kehutanan disepakati alat tangkap tersebut masih beroperasi sampai ada alat tangkap pengganti lain yang ramah lingkungan. “Dinas juga bekerjasama dengan Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Tegal mengadakan pelatihan pembuatan alat dan pengoperasian alat tangkap ramah lingkungan selama satu minggu dengan 30 orang peserta. Hasil pelatihan ini bertahap bisa disosialisasikan, ”ucapnya. (mamay/dian)