-->
×

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Akibat Belum Jelasnya Pemberlakuan Permen No 2 Tahun 2015 Membuat Nelayan Jaring Arad Kebingungan

Minggu, 12 Juli 2015 | 11.03 WIB Last Updated 2015-07-12T18:03:25Z
Pangandaran(LawuPost)Masyarakat nelayan di Pantai Timur Pangandaran saat ini merasa cemas. Pasalnya hingga kini masih belum ada kejelasan mengenai Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Perairan Indonesia. Pasca Peraturan Menteri Ke­lautan dan Perikanan ini ditunda hingga September 2015 mendatang, belum ada solusi mengenai kelanjutan Peraturan Menteri yang mulanya akan dilaksa­nakan pada awal tahun 2015 itu.

Kecemasan tersebut salah satunya dirasakan Soimah (42), pemilik jaring arad yang masuk kategori pukat hela di Pantai Timur Pangandaran. Ia merasa kebingungan dengan ketidakpastian aturan tersebut. Sampai saat ini, belum ada solusi dari pemerintah daerah untuk nelayan jaring arad jika aturan tersebut benar-benar dilaksanakan. Dirinya juga mengaku belum terpikirkan mencari mata pencaharian baru mengingat selama ini hidupnya bergantung pada hasil laut. “Kami pasrah saja, dilaksa­nakan atau tidaknya aturan ter­sebut. Kabarnya kan ketok pa­lunya September. Tapi kami kebingungan kalau benar-benar dilarang mau usaha apa lagi, ”kata Soimah ditemui tim Lawu News di Pantai Timur Pangandaran.

Menurut Soimah, meski tidak bisa dibilang besar, penghasilannya sebagai pemilik jaring arad cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari. Untuk satu kali tangkapan dirinya bisa meraup sekitar Rp 200.000. Jika tangkapan sedang ramai, penghasilannya tentu bisa semakin bertambah. Pengha­si­lan ini pun dibagi lagi dengan 15 pekerjanya dengan sistem bagi hasil. “Tidak besar memang pendapatannya, tapi cukup. Walaupun tahun ini seringnya paceklik. Tapi kalau benar-benar dilarang ya semakin enggak ada penghasilan kami.  Yang saya tahu udah enggak boleh aja. Kabarnya mau diganti alat, tapi belum ada kepastian ju­ga sampai saat ini, ”sambung­nya.

Hal yang sama dituturkan Sapon (40). Nelayan jaring arad ini mengaku pasrah menunggu kepastian peraturan Menteri Ke­lautan dan Perikanan, Susi pujiastuti tersebut. Me­nurutnya, jika dilarang, nel­a­yan bisa saja memilih menang­kap ikan langsung ke tengah la­ut. Namun, untuk itu tentu di­per­lukan modal besar sekitar Rp 30 juta untuk membeli perahu, mesin, dan kelengkapan melaut lainnya. “Kalau jaring arad kan nela­yannya kerja sama, karena mo­dal yang terbatas juga. Ada yang mengoperasikan perahu, me­narik jaring, memilah ikan. Nan­ti penghasilannya berapa dihitung dari bagi hasil dengan pemilik jaring. Kalau ada bantuan setelahnya sih enggak masa­lah, ”kata Sapon.

Karena banyaknya tenaga yang digunakan oleh nelayan jaring arad, kata Sapon, pelarangan penggunaan jaring arad pun tentu akan melahirkan banyak pengangguran baru. Oleh karena itu, banyak nelayan jaring arad yang kini khawatir kehilangan mata pencaharian. Sapon sendiri, mengaku akan beralih profesi menjadi kuli bangunan jika tak ada bantuan dari pemerintah setelah aturan itu ditetapkan.

Sementara itu Kepala Bidang Kelautan Dinas Kelautan Perta­nian dan Kehutanan Pangan­da­ran, Alan Suherlan menuturkan, untuk saat ini pihaknya masih melakukan pendataan terkait jumlah nelayan dan unit jenis alat tangkap yang tidak ramah lingkungan di Pangandaran. Se­lain itu, berdasarkan hasil kesepakatan bersama DPRD Pa­ngandaran dan Dinas Kelautan Perta­nian dan Kehutanan disepakati alat tangkap tersebut masih beroperasi sampai ada alat tangkap pengganti lain yang ramah lingkungan. “Dinas juga bekerjasama dengan Balai Pendidikan dan Pe­lat­ihan Perikanan Tegal menga­dakan pelatihan pembuatan alat dan pengoperasian alat tang­kap ramah lingkungan selama satu minggu dengan 30 orang peserta. Hasil pelatihan ini bertahap bisa disosialisasikan, ”ucapnya. (mamay/dian)