Selamat Datang Di Website Lawupost.com (Menyatukan Inspirasi Dan Motivasi) Mengkaji Pungutan di Lembaga Pendidikan | Lawu Post

Mengkaji Pungutan di Lembaga Pendidikan

Kamis, 16 Maret 20170 comments

Lembaga pendidikan memiliki tugas dan tanggungjawab yang berat dalam mengemban amanah UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, selayaknya tidak mengenal istilah pungutan melainkan istilah penggalangan dana atau yang lebih luas dari itu seperti kontribusi atau partisipasi. Penghalusan istilah ini sangat perlu karena tugas lembaga pendidikan berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya. Pembiayaan yang selama ini disebut pungutan tidak untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk tercapainya pendidikan yang berkualitas sesuai dengan amanah UUD 1945.

Akhir-akhir ini banyak sekali sorotan yang ditujukan kepada dunia pendidikan terkait pungutan. Sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan pembiayaan menjadi sorotan disebut-sebut  sebagai pungli alias pungutan liar. Sorotan ini muncul di saat pemerintah menggembar-gemborkan pemberantasan pungutan liar melalui Perpres Nomor 87 tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih  Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli). Sorotan terbaru adalah seputar penyelenggaraan kegiatan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di jenjang Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Sorotan-sorotan tersebut cukup meresahkan pihak sekolah, karena tidak sedikit sekolah yang mengandalkan pembiayaannya dari partisipasi orang tua. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum mencukupi seluruh pembiayaan sekolah. Jika partisipasi tersebut dibatasi dengan istilah pungutan, maka menjadi ambigu dan memiliki makna yang negatif. Oleh karena itu perlu pemahaman menyeluruh tepat atau tidaknya istilah pungutan dinisbatkan pada pembiayaan di lembaga pendidikan.

Setuju atau tidak istilah pungutan jika dinisbatkan pada lembaga pendidikan memiliki makna yang kurang bersahabat dan terasa tidak enak di dengar. Lembaga pendidikan memiliki tugas dan tanggungjawab yang berat dalam mengemban amanah UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, selayaknya tidak mengenal istilah pungutan melainkan istilah penggalangan dana atau yang lebih halus dari itu seperti kontribusi atau partisipasi. Penghapusan istilah ini sangat perlu karena tugas lembaga pendidikan berbeda dengan lembaga-lembaga lainnya. Pembiayaan yang selama ini disebut pungutan tidak untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk tercapainya pendidikan yang berkualitas sesuai dengan amanah UUD 1945.

Namun sayangnya istilah pungutan bagi pembiayaan pendidikan sudah diletakan sendiri oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 tahun 2012, dengan membedakan istilah pungutan dan sumbangan. Pasal 1 ayat 2 dijelaskan, pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orang tua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar. Sedangkan sumbangan (pasal 1 ayat 3) adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orang tua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan  dasar, baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.

Bagi pihak sekolah peraturan tersebut masih membingungkan, karena seolah-olah pungutan itu adalah paksaan, sementara sumbangan adalah kesadaran. Sedangkan realitasnya masyarakat sendiri tidak menyadari akan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk memberikan kontribusi terhadap sekolah.

Sekolah Tanpa Pungutan dan Kualitas Pendidikan
Peraturan Menteri yang membedakan istilah pungutan dan sumbangan, menunjukan adanya ketidakpercayaan pemerintah terhadap sekolah. Peraturan yang melarang pungutan dan membolehkan sumbangan hanya melihat dari sisi praktisnya saja bahwa masyarakat tidak boleh dibebani biaya pendidikan, padahal di sisi lain pemerintah juga belum mampu menjamin segala kebutuhan sekolah. Begitu juga masyarakat tidak menyadari bahwa mereka juga berkewajiban dan ikut bertanggungjawab dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Jika pemerintah melarang pungutan, sekolah hanya menunggu sumbangan, sementara masyarakat tidak menyadari akan kewajiban dan tanggungjawabnya, maka akan sulit bagi sekolah meningkatkan kualitas pendidikan.

Realitasnya sekolah yang berkualitas adalah sekolah yang menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang lengkap dari mulai sarana gedung, laboratorium, perpustakaan dan ditunjang oleh SDM yang berkualitas. Kelengkapan sarana tersebut hanya bisa dicapai melalui pembiayaan yang optimal. Pemerintah dalam hal ini belum mampu memberikan bantuan untuk kelengkapan sarana dan prasarana tersebut. Tidak sedikit sekolah baik itu negeri atau swasta bangunannya tidak layak, apalagi kelengkapan laboratorium, perpustakaan dan lainnya.

Pungutan disekolah muncul berdasarkan kebutuhan sekolah yang tidak terkaver oleh bantuan pemerintah. Permasalahan bagi sekolah swasta adalah tidak adanya alokasi khusus untuk memenuhi gaji guru honorer. Bantuan Operasional Sekolah untuk negeri atau swasta aturannya sama tidak boleh digunakan untuk biaya personalia. Iuran dari siswa tidak boleh, pungutan biaya yang ditentukan oleh sekolah tidak boleh, sumbangan tak kunjung datang karena jarang sekali orang tua atau masyarakat secara sadar memberikan sumbangan ke sekolah. Akhirnya dengan terpaksa sekolah hanya membayar gaji guru honorer dengan sangat minim jauh di bawah UMK. Fasilitas sekolah seadanya, bahkan jauh dari standar pendidikan nasional. Kalau seperti ini, sudah dipastikan kualitas pendidikan di Indonesia jauh dari harapan. Ketidakberdayaan sekolah yang dikekang oleh aturan pemerintah, masyarakat yang justru dimanjakan oleh pemerintah melalui jargon pendidikan gratis, semakin melemahkan kualitas masa depan pendidikan Indonesia. Generasi yang dihasilkan adalah generasi-generasi yang cengeng, bermental putus asa, memiliki ketergantungan dan tidak memiliki tanggungjawab.

Revolusi Mental dan Pola Pikir Masyarakat
Diakui atau tidak, bantuan pemerintah terhadap dunia pendidikan membuat mental masyarakat menjadi cengeng. Jangankan sadar akan sumbangan, bahkan bantuan yang datang ke sekolah pun dimintanya, kalau diminta sumbangan mereka menganggap sekolah menganggap sekolah melakukan pemotongan atau pungutan. Kondisi mental masyarakat seperti ini tentu menjadikan sekolah sulit berkembang. Seharusnya pemerintah bukan melarang sekolah melakukan pungutan, akan tetapi mengobati mental-mental masyarakat dan mendorong masyarakat untuk memberikan kontribusi terhadap dunia pendidikan.

Paradigma masyarakat mengenai pembiayaan pendidikan selama ini perlu diluruskan. Mereka bukan tidak mampu berkontribusi, melainkan pola pikir dan pola hidup yang salah. Contoh riilnya adalah pola kebiasaan belanja pulsa dan rokok yang tidak termasuk kebutuhan pokok, mereka tetap mampu membiayainya, bahkan realitasnya melebihi biaya untuk kebutuhan pokok.

Hal ini sangat jauh jika dibandingkan dengan biaya yang ditentukan sekolah untuk kegiatan per tahun. Kita hitung saja contohnya satu keluarga, belanja pulsa minimal Rp 50.000 per bulan x 12 = Rp 600.000, ditambah konsumsi rokok  satu bungkus per hari x 365 hari (1 tahun) x Rp 15.000 = Rp. 5.475.000 per tahun. Total belanja pulsa dan rokok adalah sebesar Rp 6.075.000. Sedangkan, katakanlah sekolah yang memungut biaya akhir tahun atau untuk pembangunan MCK, biayanya Rp 500.000 per siswa per tahun, kebanyakan orang tua merasa berat. Padahal jelas belanja pulsa dan rokok tidak ada nilai apa-apanya dibandingkan pendidikan untuk masa depan anaknya. Orang tua rela membelikan makanan atau hadiah yang mahal buat anaknya dibandingkan memberikan sumbangan ke sekolah.

Pemerintah saat ini baru melakukan langkah-langkah revolusi mental terhadap birokrasi, belum menyentuh masyarakat. Sukses atau tidaknya program pemerintah harus didukung oleh mental masyarakat yang positif. Pemerintah seharusnya bukan melarang sekolah melakukan pungutan, melainkan membuat kebijakan  yang ditujukan kepada masyarakat agar berkontribusi terhadap sekolah. Karena jika masyarakat sudah memberikan kontribusi kepada sekolah secara sadar, dengan sendirinya pungutan itu akan hilang. Pemerintah juga harus mendorong pertumbuha  ekonomi masyarakat, agar memiliki daya beli yang tinggi sehingga mampu berpartisipasi dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
 Penulis : Koordinator Wilayah Priangan Timur   Ikatan Pemerhati Kependudukan dan Penulis Keluarga Berencana (IPKB)
Share this article :

Posting Komentar

NUSANTARA BERSATU

EDISI TABLOID CERDAS

EDISI TABLOID CERDAS
 
Support : Creating Website | Lawupost | Lawupost Template
Copyright © 2011. Lawu Post - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Lawupost Template
Proudly powered by Lawupost